BACA JUGA: Usul Nama Achmad Century buat Bayi Idrus Marham
Bagaimana suasananya?Laporan LUCKY NUR HIDAYAT, Jakarta
TIDAK sulit mencari letak Kampung Beting
BACA JUGA: Ketika Istri Pertama dan Istri Kedua Pak Bupati Sama-sama Maju Pilkada
Lokasi kampung itu tepat di belakang Islamic Center, bekas lokalisasi Kramat Tunggak.Ketika Jawa Pos ke sana Sabtu (20/2) lalu, kampung seluas 4,5 hektare itu sedang dilanda banjir
BACA JUGA: Skill di Atas Rata-rata, Berpeluang Main di Eropa
Banjir kalau musim hujanKadang bisa selutut dan tidak surut-surut walau sudah tiga hari," kata Ricardo Hutahaean, ketua Forum Bersama Penggugat Kampung Beting.Selama berada di kampung itu, Ricardo-lah yang memandu Jawa PosSebelum diajak keliling, Jawa Pos diajak mampir ke rumah RicardoJika dibandingkan dengan sekitarnya, rumah Ricardo termasuk yang paling menterengDindingnya terbuat dari batako yang direkatkan dengan semenIni kontras dengan rumah-rumah di sekitarnya yang kebanyakan semipermanenAda yang berdinding kardusAda pula yang berdinding tripleks.
Sehari-hari, Ricardo mengelola sekolah informal untuk anak-anak warga di situSekolah itu menjadi satu dengan rumahnya.
"Beginilah pendidikan di siniAnak-anak warga sini yang masih kecil atau tak mampu sekolahnya ya di sini," ujarnya sambil menunjuk beberapa buku pelajaran membaca dan menulis di dua rak yang ada di ruang depanSekolah tersebut, kata Ricardo, adalah pendidikan anak usia dini (PAUD)Muridnya berumur di bawah empat tahunDi sana juga ditampung anak-anak yang berhenti dari sekolahnya karena tidak mampu membayar SPP.
"Kampung di sini memang anehDi sini tak ada RT, RW, dan seterusnyaAkibatnya, kami juga tak punya KTP, tak punya kartu keluarga, dan hampir semua anak di sini tak punya akte kelahiran," jelas pria asal Medan ituDia menceritakan, identitas kependudukan di Kampung Beting ditarik pemerintah setempat pada 1990.
Warga yang tinggal di kampung itu dianggap liarMereka yang sebagian besar bekerja serabutan seperti pemulung, tukang becak, tukang ojek, atau buruh itu tidak mau pindahYang menyuruh pindah adalah Pemprov DKISebab, lahan yang di atasnya berdiri Kampung Beting itu sebenarnya menjadi hak PT Kotindo KaryaPemprov DKI telah menerbitkan surat izin penunjukan penggunaan tanah tersebut untuk PT Kotindo Karya pada 1976Sebenarnya, sudah ada surat perintah bongkar dari wali kota Jakarta Utara pada 1991.
Karena dianggap liar, secara administratif, Kampung Beting tak diakuiAkibatnya, warga di sana tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan untuk warga miskin. Anehnya, saat pemilu lalu, di sana ada tiga TPS (tempat pemungutan suara)Bahkan, warga di sana juga merasakan pembagian uang BLT (bantuan langsung tunai) beberapa bulan sebelum pemilu diadakan"Sekarang BLT-nya berhenti," ucap pria yang akrab disapa Bang Cardo itu, lantas tersenyum.
Perilaku warga di Kampung Beting, kata Ricardo, juga cenderung bebas, tidak terkontrolAksi kriminal marakMenurut Ricardo, banyak warga yang kumpul kebo atau tinggal bersama tanpa status perkawinan yang jelasJumlah warga pun tidak tentuTetapi, diperkirakan sekitar 720 kepala keluarga (KK)Jika ditotal, jumlah penduduk di sana sekitar 2.900 jiwa"Sebagian besar pendatang," imbuhnya.
Warga yang dianggap liar (karena tidak ber-KTP), miskin, ditambah lagi dengan perilaku mereka yang tidak peduli dengan norma itulah yang membuat Kampung Beting menjadi lahan subur bagi jual-beli bayi"Jika kemarin ramai-ramai di TV 25 anak dijual, sekarang sudah ada 26 anak yang dijual sejak 1990," tutur Ricardo yang pernah menjadi pegawai bank ituDia menambahkan, mayoritas yang dijual adalah anak para PSK (pekerja seks komersial) yang dulu menjadi penghuni Panti Sosial Karya Wanita Teratai Harapan Kramat TunggakPanti itu memang menampung sebagian besar PSK Kramat Tunggak yang ditutup.
Menurut Ricardo, bukan hanya para PSK yang menjual bayinyaAda juga ibu rumah tanggaSalah satunya pasangan Taman, 37, dan Siti, 35Mereka tinggal di lorong gang sempitRumah mereka berukuran sekitar 2,5 x 3 meter dan dibuat bertingkat
Dinding rumah itu terbuat dari tripleks yang disambung dengan pakuLantai tanah diberi pecahan gentingDi lantai satu terdapat dua ruangRuang tamunya menjadi satu dengan tempat perapian ala kadarnya untuk memasak, dan kamar mandi yang hanya dipisahkan tripleks.
Ketika dikonfirmasi soal anaknya yang dijual, Siti membantahDia mengatakan hanya memindahkan status pengasuhan"Anak-anak saya ikut uaknya (pamannya)," tuturnyaHal ini dibenarkan Taman, suaminyaTaman mengatakan, dua anaknya terpaksa diberikan agar nasib mereka bisa berubah"Kami punya enam anakYang kami berikan adalah anak kedua dan keempat," kata pria yang sehari-hari mengamen ini.
Kini, yang ikut dengan Taman adalah empat anakMereka adalah si sulung Rahmat Hidayat, 16, anak ketiga Sarah Amelia, 12, Latif Fadilah, 4, dan si bungsu Tiara Adinda, 2.
Pada awal pembicaraan, Taman dan Siti mengatakan mengikutkan kedua anaknya kepada uaknyaTapi, setelah ngobrol hampir dua jam, pasutri itu keceplosan jugaMereka akhirnya mengakui bahwa kedua anaknya diberikan kepada orang lainDiduga kuat mereka mendapat imbalan, meski untuk hal ini keduanya tak mengakuinya.
Taman menceritakan, peristiwa itu terjadi pada 1995Saat itu istrinya mengandung anak kedua.
Saat mengamen, Taman sering mengajak istrinya yang hamil"Ketika ngamen di daerah Tanjung Priok, saat istri saya hamil tua, ada orang China Gedong yang merasa iba pada kamiDia menyuruh kami masuk ke rumahnya," ceritanyaSaat itulah Taman ditawari agar anak keduanya diberikan jika sudah lahir"Mereka mengeluh tak punya anak," ujar Taman yang mengaku pernah menjadi pemain figuran dalam sebuah film nasional ini.
Karena terdesak oleh biaya persalinan dan khawatir tak bisa menghidupi anak keduanya, dia pun merespons tawaran ituTaman terpaksa merelakan anak keduanya diambil orang lain yang diperkirakan dari Bandung"Setelah lahir, anak kedua saya berikan," katanya.
Lalu, anak keempat diminta oleh seorang pria keturunan Arab asal Surabaya"Kami belum sempat memberi nama kedua anak perempuan kami ituPokoknya, beberapa saat setelah mereka lahir, suami saya kasi tahu kalau sudah ada yang ambilYa, saya mengangguk saja," cerita Siti.
Taman menegaskan, dirinya tak menjual anak-anaknyaSebab, saat anaknya diambil orang, dia tak menerima uang sepeser pun"Pokoknya, kami tahu beresBiaya kelahiran, jamu, dan semuanya sudah dibayariTapi, yang paling penting semoga anak-anak itu nasibnya berubah jadi sukses," jelasnya sambil mengacungkan jempol.
Pria tamatan SMP itu tak menyesali perbuatannya memberikan dua anak perempuannya kepada orang lainMalah, ada sedikit perasaan bersyukurItu karena bebannya telah berkurang.
Dia menceritakan, si sulung Rahmat kini sering pulang sambil menangisDia mengeluh diejek temannyaSiswa kelas 3 SMP itu tak mendapat nomor ujian karena menunggak SPP enam bulan.
"Makan saja susah, kok harus bayar Rp 65 ribu per bulanYah, kata siapa sekolah gratis," ujarnya.
Memang, penghasilan dari mengamen tak menentuJika ramai atau ada pemintaan tampil di sebuah acara, bisa dapat Rp 100 ribu sehariTetapi, jika hujan, perolehan duit recehnya drop"Kalau hujan deras, sepeser pun tak ada duit di kantong sayaSemua habis buat makan di jalan," bebernya.
Saat Rahmat pulang, Taman pun memilih pergi"Stres mendengar keluhan-keluhan diaSaat dia sudah pergi, saya yang ganti tanya ibunya, dia tadi mengeluh apaJika seisi rumah mentok, ya saya ambil gitar, nyanyi sama ibunya, menghibur anak-anak," jelasnya.
Taman dan Siti mengakui, sesekali dia sangat rindu dengan kedua anak perempuannya ituNamun, tak ada lagi alamat yang bisa ditelusuri"Pokoknya, jika berjodoh kami bisa ketemu lagiSemoga mereka sudah hidup enak," jelasnya(kum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Vivi 11 Kali Menikah, 9 Kali Secara Siri
Redaktur : Tim Redaksi