jpnn.com - Batik kian berkembang. Motifnya makin banyak. Kreativitas pembuatnya juga terus meningkat. Tengok saja pengalaman Warna Ayu, komunitas warga eks lokalisasi Dolly-Jarak, yang membuat batik jumput dengan pewarna alami.
Laporan Indiani Kusuma, Surabaya
SETUMPUK kain batik menghiasi ruang pameran yang berukuran 2,5 x 3 meter persegi di Jalan Banyu Urip Kidul, Surabaya. Aroma kayu-kayuan mengharumkan seisi ruangan itu. Batik yang dipajang di tempat tersebut tidak berbentuk kain belaka. Beberapa sudah menjelma menjadi tas, baju, bedcover, pasmina, syal, hingga dompet. Di situlah kelompok Warna Ayu memajang hasil kreasi mereka.
BACA JUGA: Yuli Purwanto, Pendekar Pencak Silat di Negeri Pusat Bela Diri, Jepang
Nama Warna Ayu dipilih bukan tanpa alasan. Ya, kelompok itu memang menggarap karya dengan warna-warna alami. Mulai daun mangga, secang, hingga daun kelengkeng.
Warna Ayu dipandegani lima orang. Mereka adalah Nanik Suharyati, Siti Sulaikah, Susiati, Siti Ma’rifah, dan Sunarsih. Para perempuan itu tinggal di sekitar lokalisasi Dolly-Jarak yang sudah ditutup pada 18 Juni.
BACA JUGA: Mengunjungi Museum Tani Jawa Jogjakarta di Imogiri, Bantul
Sebelumnya, mereka ikut merasakan ’’nikmatnya’’ geliat lokalisasi tersebut. Bukan, para perempuan tangguh itu bukan germo, apalagi PSK. Susiati, misalnya, adalah pedagang makanan dan minuman ringan. Pelanggannya tentu orang-orang yang hilir mudik di kompleks pelacuran itu. Susi, sapaan Susiati, menyebut dirinya sebagai warga Irak alias iringane Jarak (samping Jarak, Red). Sebagaimana warga Irak lain, keuntungan Susi dengan adanya lokalisasi itu cukup gede.
Tiap bulan warga Kupang Gunung Jaya tersebut meraup keuntungan sekitar Rp 2,5 juta. Setelah lokalisasi itu tutup, perekonomian mereka terganggu. Pelanggan sepi. Perempuan dua anak itu pun gulung tikar dan merambah hal baru. Sebab, penghasilannya turun drastis, tak sampai separo keuntungannya di ’’masa jaya’’.
BACA JUGA: Hutan Batu Maros, Destinasi Wisata Alam yang Kurang Dapat Perhatian
Susi lantas teringat hal yang pernah dipelajarinya pada 2010. Yakni, membuat batik jumput. Itu adalah istilah peng-Indonesia-an untuk tie dye, teknik mewarnai kain dengan melipat, menggulung, memelintir, lalu mencelupkan kain ke dalam warna-warna. Hasilnya adalah bentuk-bentuk abstrak nan elok. Teknik tie dye tersebut pernah sangat beken pada generasi hippie, sekitar tiga dekade silam.
Menggandeng lima kawannya, sesama warga terdampak penutupan lokalisasi, mereka kembali belajar bareng. Awal belajar itu, Susi dan kawan-kawan memakai pewarna kimia. Tapi, mereka merasa hasilnya kurang maksimal. ’’Perpaduan warnanya jelek dan kurang mantap,’’ ungkap perempuan 50 tahun itu.
Mereka pun bereksperimen. Yang dicoba kali pertama adalah pewarnaan dengan memakai kulit kayu mahoni. Prosedurnya cukup rumit. Kulit kayu itu kudu direbus 13 jam untuk mendapatkan warna cokelat yang cukup cantik.
Membuat selembar kain batik jumput yang apik pun harus sabar. Sebab, proses merekayasa kain, mencelup, dan mengeringkannya hanya bisa menghasilkan satu warna. Untuk warna lain, mereka harus mengulang proses tersebut dengan teknik rekayasa kain yang berbeda. ’’Itu proses yang paling lama,’’ kata Susi. Siang itu dia bercerita sembari mengaduk panci untuk membuat pewarna alami dari daun mangga.
Di awal belajar, mereka hanya bisa menciptakan pola-pola batik yang pewarnaannya tidak rapi. Warna yang dihasilkan berantakan. Dalam sebuah pameran, batik jumput pernah dikritik Wali Kota Tri Rismaharini. ’’Kami dibilang enggak rapi. Kalau seperti itu terus, kami tidak bakal sukses,’’ cerita Susi. Dari situlah, semangat membara muncul. ’’Kami harus berubah dan bisa menunjukkan ke Ibu (Risma) bahwa kami bisa sukses,’’ tambahnya.
Kini itu semua sudah terlampaui. Aneka kreasi telah tercipta. Mulai berbentuk huruf, berpola bunga matahari, hingga berpola geometris lain. ’’Sing penting iku niate. Mesti dadi,’’ tegas Susi.
Memang, dengan pewarna alami, dalam sebulan mereka cuma membikin 3–4 lembar kain batik. Bandingkan kalau memakai pewarna kimia. Selusin lebih pun mereka sanggup.
Sudah lebih dari 100 perempuan yang menjadi anggota Warna Ayu. Mayoritas memang ibu-ibu. ’’Kami memang mencari yang telaten dan sabar. Kalau bikin terburu-buru, malah enggak jadi,’’ ujarnya. Batik, kata dia, memang kurang pas untuk anak muda yang kerap terbawa emosi, ingin simpel, dan ogah ribet.
Tapi, berkat tangan dingin para perempuan hebat itu, batik mereka merambah luar negeri. Negara manca yang kali pertama disambangi adalah Belanda. Batik jumput Warna Ayu bisa sampai di Negeri Kincir Angin tersebut lantaran dibawa kawan Susi yang bekerja di sana. Dia membawa lima kain, tiga atasan, serta bawahan. Ternyata ludes. Kalau di Australia, batik jumput malah sudah dikirim hingga 40 potong. Awalnya juga sama, ada seorang anggota PKK yang membawa kain itu ke Negeri Kanguru tersebut.
Sejumlah prestasi pun diraih. Pada 2011 Warna Ayu masuk dalam 200 UKM terbaik di Surabaya. Pada 2010 ia masuk 50 nominasi UKM terbaik dalam ajang Pahlawan Ekonomi Surabaya. Tahun ini Warna Ayu adalah jawara Produk Tekstil Terbaik yang diadakan Universitas Narotama Surabaya.
Kini lima orang itu melebarkan sayap dengan mengajarkan ilmu yang mereka miliki ke beberapa kawasan. ’’Kami enggak mau dibilang sombong. Jadi, kami akan tetap membagikan ilmu,’’ kata Ketua Warna Ayu Nanik Suharyati.
Selain itu, mereka tidak takut disontek. Sebab, semua kawasan punya ciri khas tersendiri. ’’Kalau semua bisa membatik, kan bagus. Itung-itung melestarikan budaya, siapa lagi yang mau membatik zaman sekarang,’’ tegas Nanik. (*/c7/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Proses Operasi Tumor Otak Meningioma Selama 25 Jam
Redaktur : Tim Redaksi