Rapat Komisi III DPR dan Kemenkumham

Wayan Sudirta Beberkan Kronologis dan Urgensi Pengesahan RUU KUHP

Rabu, 09 November 2022 – 20:19 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta, SH, MH. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta, SH, MH membeberkan kronologis dan urgensi pengesahan RUU KUHP saat rapat Komisi III DPR RI dengan Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta, Rabu (9/11/2022).

Sudirta menjelaslan RUU inisiatif pemerintah ini telah masuk Prolegnas dan RUU Prioritas di tahun 2022.

BACA JUGA: Wayan Sudirta DPR Sampaikan Kabar Terbaru Soal RUU KUHP

“Saya ingin memaparkan sedikit terkait RUU KUHP yang juga merupakan “RUU operan” atau carry over dari Periode DPR 2014-2019 dan telah bergulir sejak lama dan melibatkan para ahli hukum pidana,” kata Wayan Sudirta.

Menurut Sudirta, para perancang asli naskah RUU KUHP ini bahkan sudah banyak yang telah tiada dan meninggalkan legacy, yakni hasil pemikiran, kajian, dan penelitian terhadap perkembangan hukum pidana nasional.

BACA JUGA: RUU KUHP Diharapkan Segera Disahkan

Politikus PDI Perjuangan dari Dapil Bali ini mengaku banyak mengikuti perkembangan RUU KUHP.

Pada tahun 2012, kata Sudirta, RUU ini untuk pertama kalinya diserahkan Pemerintah kepada DPR bersama dengan RUU KUHAP.

BACA JUGA: Beberkan Ajaran Bung Karno, Wayan Sudirta Sebut Otot, Biji Mata, dan Otak Partai

Namun pada periode tersebut, kedua RUU tidak dapat terselesaikan. Selanjutnya, agenda untuk mereformasi Hukum Pidana Nasional ini terus berjalan.

Dia menyebut kebijakannya pada saat itu adalah memprioritaskan penyelesaian pembahasan hukum pidana materiil sebelum mereformasi hukum pidana formil.

“Maka, dimulai secara khusus pada tahun 2015, pembahasan RUU KUHP dimulai di Komisi III DPR RI bersama Pemerintah,” ujar Wayan Sudirta.

Dari seluruh data dan agenda tersebut, Sudirta melihat pembahasan RUU KUHP pada periode 2014-2019 dilakukan secara serius, terus-menerus, dan intens.

Artinya, menurut Wayan Sudirta, ada komitmen penuh dan melibatkan seluruh pihak dengan satu tujuan yang sama, yakni melahirkan RUU KUHP yang berkualitas, progresif, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Dalam proses yang ada, Wayan Sudirta juga telah melihat bahwa RUU KUHP sudah melibatkan banyak ahli hukum pidana, aparat penegak hukum dan peradilan, pihak masyarakat, maupun seluruh perwakilan dan ahli di bidang lainnya.

Namun pada penghujung pengesahannya di tahun 2019, banyak pihak yang kemudian mempertanyakan dan memperdebatkan beberapa isi pasal yang dianggap “krusial”.

“Oleh karena itu, pengesahannya ditunda dan diputuskan untuk disahkan di DPR Periode 2019-2024,” ujar Wayan Sudirta.

Lebih lanjut, Wayan memaparkan tentang kronologis dan pandangannya terkait RUU KUHP.

Dia mengatakan Pemerintah dalam hal ini telah berkomitmen untuk melakukan sosialisasi dan melibatkan sebanyak mungkin pihak terkait.

Oleh karena itu, masyarakat dapat memiliki pengetahuan dan pemahaman yang bermakna sebagaimana perkembangan dalam Putusan MK.

Pada tahun 2022 ini, Pemerintah  telah melaporkan hasil sosialisasi ke berbagai daerah (14 daerah) dan masukan dari berbagai pihak.

Kemudian menyerahkan draf hasil perubahan dan reformulasi terhadap RUU KUHP ini, terakhir pada 9 November 2022.

Urgensi Pengesahan RUU KUHP

Sudirta mengapresiasi Pemerintah dan DPR yang telah berupaya melakukan pembahasan yang sangat komprehensif terhadap RUU KUHP dengan mengutamakan kepentingan nasional, yakni kepentingan untuk mereformasi hukum pidana nasional yang komprehensif dan berdaya tahan untuk jangka panjang.

Di antaranya, urgensi pengesahan RUU KUHP ini adalah untuk menggantikan KUHP peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda dan sebagai salah satu upaya untuk mendukung pembangunan hukum nasional.

Sudirta mengatakan RUU KUHP dirancang untuk membaharui hukum pidana materiil yang mengandung misi rekodifikasi hukum pidana yang kini telah berkembang di seluruh peraturan perundang-undangan sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat melalui sistem Rekodifikasi Terbuka.

Artinya mengatur ketentuan pidana secara umum sebagai “ketentuan umum” (lex generali), yakni sebagai pedoman utama pengaturan pidana di Indonesia (the limiting principles) terhadap seluruh UU di luar KUHP.

“RUU KUHP mengatur asas-asas atau prinsip-prinsip umum hukum nasional akan menjadi dasar atau pedoman hukum pidana di seluruh ketentuan pidana Indonesia tanpa mengesampingkan sifat-sifat kekhususan acara pidana di dalam UU lain dengan tetap berpegangan pada the limiting principles sebagaimana diatur dalam Aturan atau Ketentuan Umum dalam RUU KUHP.

Selain itu, RUU KUHP juga menjadi jalan untuk pemberlakukan prinsip-prinsip hukum umum dan internasional yang modern, seperti misalnya perluasan subyek hukum pidana (korporasi) dan penambahan jenis sistem pemidanan.

Sudirta mengatakan RUU KUHP juga menghormati kekhasan dan kekayaan hukum adat Indonesia dengan mengakui keberadaan hukum pidana adat, namun dengan batasan-batasan tertentu.

Hal ini dilakukan sebagai upaya bersama untuk mengurangi over-kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan tertentu sekaligus melindungi seseorang secara hukum.

Namun begitu, terkait pro dan kontra terhadap beberapa pasal atau substansi di dalam RUU KUHP yang kemudian perlu dicermati dan dibahas lebih jauh.

Pasal tersebut misalnya adalah terkait kebebasan berekspresi, norma kesusilaan, dan asas legalitas.

Dalam hal ini Pemerintah telah mengkluster beberapa isu yang menjadi perhatian masyarakat dan telah dilakukan pembahasan dan evaluasi terhadap pasal-pasal tersebut.

Draf RUU KUHP terdiri dari Buku I dan Buku II harus dapat dicermati secara utuh dan menyeluruh.

Banyak pihak yang menyampaikan pandangannya terhadap pasal-pasal dalam RUU KUHP tanpa melihat keseluruhan bagiannya secara utuh.

Dengan begitu, penolakan ini sebetulnya menjadi sia-sia karena sebenarnya banyak masukan (penolakan) yang justru substansinya telah diakomodasi di dalam naskah RUU KUHP.

“Saya melihat bahwa apa yang dikhawatirkan masyarakat sebagian besar adalah adanya kriminalisasi oleh penegak hukum menggunakan RUU KUHP sebagai upaya “mengendalikan dengan cara-cara kolonialisasi baru," kata Sudirta.

Sudirta menegaskan hal ini bukanlah tujuan para perancang RUU KUHP. Namun, dia setuju bahwa pengaturannya harus dilakukan secara hati-hati dan sebisa mungkin menghindari risiko atau potensi penyalahgunaan.

Dia menyebut RUU KUHP telah memiliki bagian Penjelasan yang dapat digunakan sebagai ruang untuk dapat memperjelas berbagai hal di dalam aturan perundang-undangan.

Sudirta mengingatkan ketentuan dalam RUU KUHP ini tentu tidak dapat memuaskan seluruh pihak.

Untuk mengakomodasi seluruh perkembangan hukum, menurut Sudirta, RUU KUHP tetap menghormati instrumen hukum untuk pengujian pasal di level implementasi.

Dia mencontohkan penggunaan sistem kategorisasi pidana denda yang kemudian dalam perkembangannya akan dapat secara mudah diubah, baik oleh undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Perubahan terhadap Buku II akan dapat dilakukan baik melalui am´ndemen KUHP itu sendiri maupun melalui Undang-Undang lainnya (lex specialis).

Menurutnya,  draf RUU KUHP  bila nantinya disahkan, bukanlah satu-satunya ketentuan yang final dan tidak dapat atau sulit diubah.

“Selain dari mekanisme perubahan undang-undang yang ada di DPR, kita juga memiliki mekanisme uji materi di Mahkamah Konstitusi,” ujar Sudirta.

Sudirta melihat bahwa dari ketentuan peralihan RUU KUHP, terdapat masa pemberlakuan undang-undang (2 tahun) yang masih juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menguji baik di level implementasi maupun uji materiil di MK.

Politikus PDI Perjuangan ini melihat kekhawatiran masyarakat lebih banyak pada level implementasi (enforcement), yang dalam hal ini juga membutuhkan strategi lainnya yakni reformasi kultur, struktur, dan regulasi.

Sudirta menekankan dalam naskah RUU KUHP ini, tujuan pemidanaan berubah dari otoriterisme yang ada di KUHP sebelumnya menjadi modern dan seimbang.

Dia mengatakan RUU KUHP mengenal restorative justice dan bertujuan untuk mengembalikan masyarakat secara seimbang bukan hanya semata untuk pembalasan dendam.

Oleh karena itu, dia mengimbau semua pihak memandang secara luas bahwa pembaruan KUHP ini sangat penting setelah melewati lebih dari seratus tahun (umur KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda) yang kini telah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Sudirta juga menyampaikan beberapa tambahan untuk mendalami pasal-pasal. Di antaranya adalah pasal tentang Hukum yang hidup dalam Masyarakat (Asas legalitas),  dimaksudkan untuk mengakui hukum pidana adat yang selama ini telah berlaku di masyarakat dan telah diatur dalam Peraturan Daerah.

“Maksud dari pasal ini juga adalah pemberlakuan Keadilan Restoratif dari sisi hukum adat setempat untuk pemulihan korban dan lingkungan,” ujar Wayan Sudirta.

Wayan Sudirta juga mengatakan perlu Pasal mengenai Penyerangan harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal mengenai Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga.

Pasal ini, menurut Wayan, sebenarnya merupakan variasi dari pasal penghinaan yang memang telah diputuskan oleh MK sebagai delik aduan.

Selanjutnya, Pasal terkait Penodaan terhadap Agama yang dimaksudkan untuk menghormati Agama yang telah diakui di Indonesia dan menjadi falsafah bangsa dalam Sila Pertama Pancasila.

Selain itu, pasal ini merupakan cara untuk perlindungan terhadap agama dan menghindari konflik, sebagaimana menyadari masyarakat Indonesia yang menghormati Agama.

“Perlu juga Pasal mengenai Penganiayaan terhadap Hewan, Pasal-pasal terkait Kesusilaan (perzinahan dan hidup bersama) dan juga pasal tentang Ketentuan Peralihan,” ujar Wayan Sudirta.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler