jpnn.com - JAKARTA – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin menggelar sidang perdana gugatan praperadilan Dahlan Iskan atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Ada yang menarik dalam jawaban Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta atas gugatan Dahlan. Jaksa mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.
Jaksa menganggap Putusan MK No 21/PUU-XII/2014 tentang Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan telah melampaui kewenangan. MK dinilai tidak memiliki kewenangan mengubah atau menambah ketentuan undang-undang. ’’Karena itu, putusan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,’’ ujar jaksa Martha Berliana.
BACA JUGA: 200 WNI Terancam Hukuman Mati, sebagian Kasus Sihir
Jawaban jaksa tersebut tentu kontroversial. Sebab, selama ini PN Jaksel sudah belasan kali menyidangkan dan memutus gugatan praperadilan atas penetapan tersangka, terutama tersangka KPK. Yang dijadikan dasar gugatan juga putusan MK No 21/PUU-XII/2014.
BACA JUGA: Alhamdulillah...Enam Korban Penembakan Tolikara Diizinkan Pulang
Pengacara Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan, jawaban tim jaksa itu menunjukkan ketidakkonsistenan kejaksaan. Menurut dia, kejaksaan sering menggunakan putusan MK kalau hal tersebut menguntungkan lembaganya. ’’Tapi, kalau terpojok sepert ini, putusan MK tidak dipakai,’’ ujar Yusril, lantas tersenyum.
Mantan menteri kehakiman dan HAM itu menegaskan, putusan MK bersifat mengikat dan berlaku seketika setelah dibacakan di hadapan umum.
BACA JUGA: Daripada ke Rentenir, Ayo Sejahterakan Keluarga dengan PSKS
Pernyataan Yusril tersebut juga disetujui mantan Ketua MK Mahfud MD yang diwawancarai terpisah. Dia menyebutkan, secara konstitusional, sesuai dengan pasal 24C UUD, putusan MK itu bersifat final dan mengikat.
’’Tak ada putusan MK yang melampaui kewenangannya. Wewenang MK itu paling tinggi dalam menilai konstitusional atau tidaknya isi undang-undang,’’ jelasnya. Putusan MK dalam judicial review berlaku setingkat undang-undang.
Sidang praperadilan Dahlan kemarin berjalan lancar. Sidang yang dipimpin hakim tunggal Lendriaty Janis itu berjalan sekitar 1 jam 45 menit. Materi gugatan Dahlan setebal 27 halaman dibacakan secara bergantian oleh Yusril dan Pieter Talaway. Ada beberapa yang ditekankan tim kuasa hukum Dahlan dalam materi gugatan.
Pertama, mereka mempermasalahkan tuduhan jaksa yang sudah tidak sesuai dengan waktunya. Apa yang disangkakan terhadap Dahlan memang terjadi saat dia tidak lagi menjabat Dirut PLN maupun kuasa pengguna anggaran (KPA).
Sebagaimana diketahui, Dahlan diangkat sebagai KPA proyek gardu induk selama dua periode. Yakni, 1 Januari 2010–31 Desember 2010 dan 1 Januari 2011–20 Oktober 2011. Saat itu pula di lingkungan PLN telah ada pakta integritas. Intinya, setiap pegawai siap bertanggung jawab sepenuhnya jika terjadi masalah pidana maupun perdata.
Nah, 20 Oktober 2011, Dahlan diangkat sebagai menteri BUMN. Sejak saat itu, jabatan dan tanggung jawab Dahlan sebagai KPA digantikan Jarman (Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM). Semua yang dituduhkan jaksa seperti tanda tangan kontrak kerja dan pembayaran proyek terjadi setelah Desember 2011.
Penekanan kedua gugatan Dahlan terkait dengan dua bukti permulaan untuk menjeratnya sebagai tersangka. Yusril mempertanyakan apakah alat bukti jaksa sesuai dengan pasal 183 dan 184 KUHAP. Hal itu dipertanyakan karena Dahlan ditetapkan sebagai tersangka pada hari yang sama (5 Juni 2015) setelah diperiksa sebagai saksi.
Kuasa hukum Dahlan juga mempermasalahkan kerugian negara. Sampai saat ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum pernah menyatakan adanya kerugian negara dalam proyek gardu induk. Padahal, kerugian negara merupakan unsur terpenting dalam kasus korupsi. (gun/c5/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Rencana Kerjasama Inggris dan Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi