Yang Menang Mendapat Tepuk Tangan, yang Kalah Bulunya Dicabuti

Senin, 11 Januari 2016 – 00:44 WIB
Tradisi Tabuh Rah di Desa Pakraman Sambirenteng. Foto: Bali Ekspres/JPG

jpnn.com - AREAL jaba tengah Pura Sanggah Desa di Desa Pakraman Sambirenteng, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali, terlihat ramai. Pagi itu, Sabtu (9/1), suara riuh sudah terdengar dari kejauhan, sekitar 50 meter. Satu persatu krama lanang di Desa Pakraman Sambirenteng, masuk ke areal jaba tengah. Mereka membawa ayam aduan.

Ada yang membawa seekor ayam, ada pula yang membawa dua ekor ayam. Semua dimasukkan ke dalam tas plastik dan keranjang anyaman bambu yang biasa dimiliki para pencinta adu ayam.

BACA JUGA: Hamid Nabhan : Sekelumit Kisah Lukisan Affandi, Becak, dan Mobil Mercy

Ayam-ayam itu kemudian diletakkan pada tempat tersendiri. Pemilik ayam dengan sabar menunggu giliran kapan ayam milik mereka dipanggil untuk diadu. Mereka menunggu sambil merokok, mengobrol, ada pula yang sedang memijat ayam miliknya, dengan harapan ayam itu lebih perkasa.

Pertandingan  adu ayam yang disebut tabuh rah itu pun menarik perhatian para pria di wewidangan Desa Pakraman Sambirenteng.

BACA JUGA: Jokowi..Pagi Pakai Baju Batik, Sore Kenakan Baju Merah

Mereka rela berdesak-desakan menonton adu ayam. Mereka berteriak-teriak mendukung ayam jago yang dianggap paling berpeluang menang. Adu ayam itu berlangsung hingga 150 babak dan sudah berlangsung sejak Jumat (8/1) lalu. Ayam yang menang mendapat tepuk tangan meriah dari para pendukungnya. Sementara ayam yang kalah, dibawa keluar arena dalam kondisi sekarat dan tak jarang dalam kondisi mati.

Ayam yang sudah mati itu kemudian diserahkan kepada krama yang bertugas mencabuti bulu ayam, dan membawanya ke gedung serbaguna Desa Sambirenteng, untuk kemudian dimasak. Istimewanya tak ada seorang pun krama dari Desa Pakraman Sambirenteng yang memasang taruhan.

BACA JUGA: Tinggal Dua Pengrajin Bertahan, Lainnya Kembali Jadi Petani dan Ojek

Kepercayaan adat melarang mereka memasang taruhan dan berjudi selama upacara ini berlangsung. Meski masih ada saja krama dari luar desa pakraman yang datang dan sengaja bertaruh dalam ritual sabung ayam itu.

Tabuh rah yang diselenggarakan di jaba tengah Pura Sanggah Desa Pakraman Sambirenteng itu merupakan bagian dari tradisi mecak-cakan,sebuah ritual bhuta yadnya yang rutin diselenggarakan setiap tilem kapitu. Tradisi ini berlangsung secara turun temurun di Desa Pakraman Sambirenteng dan Desa Pakraman Geretek. Dua desa pakraman ini memang bertetangga, dan masih dalam satu wilayah administratif Desa Sambirenteng di Kecamatan Tejakula, sehingga memiliki kemiripan tradisi.

Tak ada yang tahu pasti kapan sebenarnya tradisi mecak-cakan ini mulai digelar. Para tetua di desa setempat hanya tahu bahwa tradisi ini sudah berlangsung dari generasi ke generasi, ratusan tahun silam. Tradisi mecak-cakan itu memang menjadi tradisi yang paling sakral bagi krama di Desa Pakraman Sambirenteng. Tradisi ini diyakini melindungi krama dari bahaya gerubug dan perselisihan antar warga. Tradisi ini tak pernah absen diselenggarakan setiap tahun.

Dalam sejarahnya, konon tradisi ini sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Tradisi bermula ketika krama Desa Pakraman Sambirenteng selalu tertimpa gerubug dan perselisihan antar krama, setiap kali tilem kapitu tiba. Para penglingsir di desa kala itu, memohon petunjuk kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Sesuhunan Betara, apa kiranya penyebab dari gerubug itu. Saat itu para penglingsir mendapat penyampaian harus diselenggarakan upacara bhuta yadnya yang bernama cak-cakan, dengan wujud melakukan adu sata alias sabung ayam.

“Ini adalah penyampaian dari penglingsir kami. Penglingsir kami pun tidak tahu sejak kapan, karena sudah tahu dari generasi ke generasi. Setahu saya dan sepanjang hidup saya disini, belum pernah upacara ini tidak dilaksanakan,” jelas Jro Bendesa Nengah Mas, Kelian Desa Pakraman Sambirenteng, yang ditemui Sabtu (10/1) petang lalu. Tradisi mecak-cakan di Desa Pakraman Sambirenteng memang menjadi ritual sakral dan panjang.

Ritual ini bisa berlangsung selama dua hari berturut-turut. Ritual dimulai dari tabuh rah, memasak, upacara pecaruan di perempatan desa, dan megibung atau makan bersama. Saking panjangnya, masyarakat dibagi ke dalam pekerjaan-pekerjaan khusus agar upacara bisa berlangsung lancar. Ada yang menjadi juru mempersiapkan banten, juru gambel, juru tari, juru ebat atau tukang masak, hingga juru angkut.

Proses paling panjang dalam ritual ini adalah proses tabuh rah, yang bisa berlangsung selama dua hari. Pada tahun 2016 ini, ritual tabuh rah itu berlangsung hingga 150 seet atau 150 babak. Sebanyak 50 seet di antaranya dilangsungkan Jumat lalu, dan 100 seet sisanya dilangsungkan pada Sabtu.

Untuk tabuh rah, setiap kepala keluarga di desa diwajibkan mengeluarkan seekor ayam aduan. Ayam aduan itu kemudian dibawa ke jaba tengah Pura Sanggah Desa Pakraman Sambirenteng, dan harus melalui proses sabung ayam.

Hanya cundang atau ayam yang kalah saja yang dijadikan sarana upacara dan dijadikan bahan untuk megibung atau makan bersama. Sementara ayam yang menang kembali ke tangan pemiliknya, atau boleh disumbangkan untuk keperluan upacara. Bila tak mengeluarkan ayam aduan, bisa saja kepala keluarga menyumbangkan pengina atau ayam betina kepada juru ebat dengan melapor lebih dulu kepada prajuru desa.

“Boleh menyerahkan ayam pengina, itu disebut nyeratos. Atau menyerahkan uang tunai juga boleh. Istilahnya memirak itu. Semua kepala keluarga wajib. Kalau misalnya keluarga tidak mampu, kami berikan waktu selama sebulan menyelesaikan kewajibannya dalam upacara ini,” kata Jro Bendesa. Ayam cundang, pengina, serta uang tunai yang telah terkumpul, kemudian diserahkan kepada juru ebat. Juru ebat dalam upacara ini memegang peranan sangat penting.

Mereka harus memasak bagi 800 kepala keluarga yang menjadi krama desa. Itu berarti sekitar 3.000 warga. Dalam ritual mecak-cakan tahun ini, juru ebat jumlahnya mencapai 132 orang. Mereka harus memasak dengan cepat, dan jumlah yang tepat. Mereka harus menyiapkan lawar ayam atau yang disebut urab oleh masyarakat setempat, serta sop ayam. Segala proses pengolahan itu dilakukan di gedung serba guna Desa Sambirenteng.

Ayam aduan yang kalah pun datang silih berganti terus menerus. Para juru ebat ini hanya mengolah ayam saja untuk dijadikan lawar dan sop. Sementara nasi disiapkan oleh krama desa. Masing-masing kepala keluarga wajib mengeluarkan sedikitnya 75 ons beras dan saat diserahkan kepada juru ebat, sudah berupa nasi.

“Kami hanya ngadonan lawar dan kuah saja. Kalau nasi itu nanti per kepala keluarga kena. Sudah dari jam 12.00 siang kami masak. Baru selesai jam 18.00 barusan ini. Karena banyak ayamnya, jadi ya selesainya lama,” kata Nyoman Abian, koordinator juru ebat dalam upacara mecak-cakan. Setelah setiap kepala keluarga menyerahkan nasi, juru ebat kemudian meletakkan nasi dalam wadah tertentu berbentuk persegi empat dan beralaskan daun pisang.

Setiap wadah mendapat jatah semangkok sop ayam yang dikemas dalam wadah plastik ukuran satu kilogram. Pada setiap sudut wadah kemudian ditempatkan lawar ayam dalam jumlah secukupnya. Hidangan itu pun cukup dan siap digunakan untuk megibung oleh krama desa. (*/eka prasetya/rdr/mus)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Perempuan Dokter Hewan, Sejam di Perahu sambil Mengelus Harimau


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler