Yang Penting, Calon Berkualitas atau Tidak

Sabtu, 11 Juli 2015 – 19:21 WIB
Foto ilustrasi dok.Jawa Pos

jpnn.com - JAKARTA – Pengamat Hukum Tata Negara Andi Irmanputra Sidin menegaskan, putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan larangan ‘politik dinasti’ bukan petaka demokrasi. Namun lebih merupakan proses demokrasi yang sedang bertumbuh ke depan.

Alasannya, pilkada serentak di Indonesia baru berjalan tiga kali, karena itu tidak heran jika kemudian masih terdapat banyak kekuarangan. Termasuk dalam aturan sebelumnya, yang melarang keluarga petahana maju dalam pilkada dan baru dimungkinkan setelah satu periode kepala daerah tersebut tidak lagi menjabat.  

BACA JUGA: Kubu Agung Nilai Kasasi ARB tak Selesaikan Konflik

Karena itu dengan adanya putusan MK, Irman berharap ke depan aturan-aturan yang ada dapat lebih baik.

“Pilkada baru berjalan tiga, kali. Banyak kekuarangan, misalnya ada larangan keluarga petahana maju dan itu kemudian dinilai inkonstitusional. Jadi ini bukan petaka demokrasi, tapi proses demokrasi yang sedang bertumbuh terus ke depan,” ujar Irman dalam talkshow yang digelar Sindotrijaya Network, Sabtu (11/7).

BACA JUGA: Partai Idaman Ingin Hapus Stigma Negatif Umat Islam

Irman mengutarakan pandangannya, karena dalam proses pilkada, hal yang paling penting diperhatikan terkait proses perekrutan calon yang dilakukan partai politik. Alasannya, karena dari rekrutmen akan terlihat apakah calon yang dipilih benar-benar berkualitas atau tidak. Jadi bukan hanya karena seseorang berasal dari keluarga petahana, lantas hak-haknya dibatasi.

“Poin yang paling penting, parpol yang menentukan calon kada apakah berkualitas atau tidak. Jadi jangan sampai belum apa-apa seseorang yang merupakan keluarga petahana yang memiliki kualitas, tidak dapat dicalonkan,” katanya.

BACA JUGA: Rhoma Irama Deklarasi Berdirinya Partai Idaman

Pandangan senada dikemukakan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Muttaqien. Menurutnya, apapun putusan MK tentu harus dihormati. Namun bukan berarti masyarakat tidak berbuat.

“Jadi masyarakat perlu ikut serta mengawasi proses rekrutmen. Kemudian terkait sistem, ketika tidak mau ada pembatasan (keluarga petahana,red), mau tidak mau perlu dilakukan rekayasa, terutama penjadwalan pelaksanaan pilkada serentak dan pemilihan presiden,” ujarnya.

Menurut Heroik, jarak antara pelaksanaan pilkada serentak dengan pemilihan presiden, sebaiknya berselang dua tahun. Dengan demikian masyarakat akan dapat menilai, apakah petahana yang ada cukup baik kinerjanya. Jika tidak, maka masyarakat dapat menentukan sikap pada pemilihan presiden. Apakah memilih calon dari parpol yang sebelumnya mengusung calon kada yang saat itu menjabat.

“Antara Pilkada dan Pemilihan presiden sebaiknya berselang dua tahun. Dengan demikian maka rekayasa alamiah akan berlangsung. Saya kurang sepakat masyarakat disebut kurang cerdas dalam memilih. Karena menurut saya, prilaku pemilih sangat dipengaruhi kinerja petanahan. Jadi mempertimbangkan apa yang dilakukan petahana dan apa hukuman yang akan dia berikan,” ujar Heroik.(gir/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... JK Harapkan Ical Tak Usah Melawan Putusan Banding


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler