jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur mengharapkan adanya penyelidikan terkait isu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengintervensi kasus korupsi e-KTP.
Menurut Isnur, upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dilakukan sejak Jokowi berkuasa.
Hal itu disampaikan Isnur menyikapi pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang mengaku pernah diminta Jokowi menghentikan pengusutan kasus mega korupsi pengadaan e-KTP.
“Pengakuan Agus Raharjo ini juga menyingkap upaya sistematis pelemahan dan penghancuran KPK. Sebagaimana diketahui, pelemahan KPK secara konsisten telah dilakukan sejak Jokowi berkuasa,” kata Isnur dalam keterangannya, Sabtu (2/12).
BACA JUGA: Direktur ILDES Sebut Pernyataan Agus Rahardjo Tendensius dan Bisa Langgar UU ITE
Isnur mengatakan YLBHI mempunyai beberapa catatan upaya pelemahan dan penghancuran KPK. Misalnya, kriminalisasi para pimpinan KPK seperti Abraham Samad, Bambang Widjoyanto, dan puluhan penyidik pada 2015. Kemudian, penyerangan Novel Baswedan dan angket KPK oleh DPR.
Upaya pelemahan dan penghancuran KPK yang dilakukan pemerintah era Jokowi selanjutnya ketika mengangkat panitia seleksi (pansel) pimpinan KPK bermasalah, merevisi UU KPK. Lalu, pemberhentian ilegal 75 lebih pegawai lembaga antirasuah, hingga Ketua KPK Firli Bahuri yang kini ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
BACA JUGA: Praktisi Hukum Sebut Pernyataan Agus Rahardjo Tendensius dan Bernuansa Politis
Isnur menilai jika Jokowi benar terbukti pernah memerintahkan pimpinan KPK menghentikan kasus korupsi E-KTP, maka presiden telah melakukan tindak pidana serius. Menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan tindakan penghinaan pada peradilan karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum.
“Jika ini benar, maka patut diduga kuat bahwa Presiden Jokowi melakukan penghalang-halangan penegakan hukum atau obstruction of justice terhadap kasus tindak pidana korupsi,” kata Isnur.
Dia mengatakan sesuai Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan obstruction of justice adalah tindakan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
“Publik mengetahui bahwa Setya Novanto telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berhubungan dengan kasus E-KTP yang merugikan negara sebanyak Rp2 triliun. Maka, seiring dengan terbukanya kasus ini, KPK perlu segera melakukan penyidikan lebih lanjut terkait dengan dugaan keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam Korupsi E-KTP,” ujarnya.
Lebih lanjut, Isnur mengatakan tindakan obstruction of justice adalah tindakan yang menabrak dan berkontradiksi dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Terlebih jika hal tersebut dilakukan secara langsung oleh presiden sebagai seorang kepala negara dan pemerintahan.
Isnur menyebut perbuatan yang diduga dilakukan Jokowi dapat mengarah pada pelanggaran Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela atau pendapat bahwa presiden atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.
“Terhadap seluruh rangkaian peristiwa pelemahan dan penghancuran KPK tersebut, maka YLBHI berpendapat perlu dilakukan upaya hukum terhadap Jokowi dan juga pemulihan kembali institusi KPK agar menjadi independen,” ujar Isnur.
YLBHI juga mendesak MPR/DPR menetapkan bahwa Presiden Jokowi sudah melakukan perbuatan tercela dan segera diproses melalui DPR kemudian ke Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan ketentuan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Tan/JPNN)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Sebaiknya Memanggil Agus yang Ungkap Informasi Jokowi Minta Penghentian Perkara
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga