Yusri: Penyidikan Satpol PP di Ranah Pelanggaran Perda, Tetap di Bawah Pengawasan Kepolisian

Jumat, 23 Juli 2021 – 16:35 WIB
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menyatakan bahwa yang boleh melakukan penyidikan hanya petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang memiliki sertifikat penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).

Selain itu, lanjut Yusri, penyidikan yang dilakukan itu pun tetap di bawah pengawasan dari kepolisian.

BACA JUGA: Respons Seruan Demo Jokowi End Game, Kombes Yusri: Lihat, Rumah Sakit dan Kuburan Sudah Penuh

"Anggota satpol PP yang memiliki sertifikasi PPNS di bawah pengawasan kepolisian tetapi mereka penegak, penyidik di dalam internalnya," kata Yusri di Markas Polda Metro Jaya, Jumat (23/7).

Hal itu diungkap Yusri merespons soal isi draf revisi Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19.

BACA JUGA: 5 Pelaku Belum Menyerah, Kombes Yusri: Kami Akan Kejar sampai Mana pun!

Perda itu sempat memunculkan kontroversi, yang dipicu salah satu pasal yang akan memberikan kewenangan penyidikan kepada Satpol PP DKI Jakarta.

Menurut Yusri, penyidikan yang dimaksud sesuai dengan perda di daerah masing-masing.

BACA JUGA: Anies Pengin Satpol PP DKI Diberi Kewenangan Penyidikan, Sahroni: Idenya Berlebihan

Bukan seperti semua penyidikan yang bisa dilakukan oleh polisi.

"Jadi, dia penegak aturan di dalam perda di daerah masing-masing. Kemarin, perda tentang PPKM tentang penanganan operasi yustisi sudah keluar," ujar Yusri.

Kabid Hukum Polda Metro Jaya Kombes Adi Ferdian mengatakan revisi perda itu dilakukan karena masih banyak masyarakat yang kurang disiplin terhadap pelaksanaan protokol kesehatan pandemi Covid-19.

"Saat ini diusulkan Pemprov (DKI Jakarta) untuk direvisi. Hal ini dengan beberapa pertimbangan seperti masih kurang disiplin pakai masker maupun kerumunan karena pasal-pasal yang ada," ujar Adi di kesempatan yang sama.

Kombes Adi menjelaskan bahwa dalam Perda 2/2020, penegak hukum adalah PPNS dalam hal ini Satpol PP yang didampingi Polri dan TNI.

Namun, ujar dia, dalam perda itu polisi tidak bisa menindak pelanggar protokol kesehatan.

"Kita ketahui, Polri dalam KUHAP adalah penyidik, namun perda itu membatasi penegak prokes adalah Satpol PP," ungkapnya.

Adi menambahkan perda tersebut hanya memuat sanksi administrasi berupa kerja sosial dan denda.

Dia menjelaskan, dalam sistem pemidanaan di Indonesia tidak mengenal sanksi administrasi.

Walakin, dalam penegakan prokes Satpol PP tidak bisa berbuat banyak ketik ada masyarakat yang menolak membayar denda dan kerja sosial.

"Operasi yustisi ini tidak ada sanski hukum dalam perda tersebut karena tidak ada dasar hukum," ungkap Adi.

Atas dasar itu, perda tersebut perlu direvisi sehingga diperlukan sanksi pidana bagi mereka yang melanggar prokes.

Nantinya, bila sudah direvisi, maka polisi, Satpol PP, jaksa, dan hakim dalam memutuskan pelanggaran prokes bisa memberikan sanksi pidana.

"Sehingga dapat efektif, efisien, dan menimbulkan efek jera bagi masyarakat," tutur Adi.

Sanksi pidana yang dimaksud dalam perda itu nantinya, hanya tiga bulan dan enam bulan.

"Sanksi pidana tiga bulan acara singkat dan enam bulan acara cepat. Namun berdasarkan pertimbangan hakim," kata Adi.(cr3/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Fransiskus Adryanto Pratama

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler