Yusril: Jalan Konstitusional Capres yang Kalah Adalah ke MK, Bukan DPR

Kamis, 22 Februari 2024 – 19:47 WIB
Yusril Ihza Mahendra. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menanggapi isu hak angket DPR terkait pelaksanaan Pemilu 2024.

Yusril menjelaskan, untuk mencari penyelesaian atas ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pemilu dan hasilnya khususnya Pilpres, bisa membawa hal itu ke Mahkamah Konstitusi.

BACA JUGA: Yusril Tegaskan Gerakan Pemakzulan Presiden Jokowi Inkonstitusional

Penggunaan hak angket DPR dinilai tidak tepat, mengingat kewenangan penyelenggaraan pemilu sepenuhnya berada di tangan KPU.

Dia menjelaskan bahwa ketentuan mengenal hak angket dalam konstitusi berkaitan dengan fungsi DPR melakukan pengawasan yang tidak spesifik.

BACA JUGA: Bela Jokowi soal Presiden Boleh Memihak, Yusril Berkata Begini

Namun, ketentuan lebih lanjut tentang hak angket dituangkan dalam undang-undang.

"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini Pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak. Karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ujar Yusril kepada wartawan, Kamis (22/3).

BACA JUGA: Prabowo Disebut Terima Suap, Yusril: Berita Hoaks Terbesar

Selain itu, Yusril menjelaskan, berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945 dengan jelas menyatakan, bahwa salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini Pilpres pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.

Mantan Menteri Hukum dan HAM ini menjelaskan, para perumus amandemen UUD NRI 1945 telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui badan peradilan, yaitu Mahkamah Konstitusi.

Hal ini dimaksudkan agar perselisihan segera berakhir dan menghindari terjadinya kekosongan kekuasan akibat tertundanya pelantikan presiden terpilih.

"Oleh karena itu saya berpendapat, jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan Pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan," ujarnya

"Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil Pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," tegas Yusril.

Dia menerangkan, putusan MK dalam mengadili sengketa Pilpres akan menciptakan kepastian hukum.

Sementara, penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian yang potensial berujung kepada chaos.

"Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. Proses pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan diakhiri dengan pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45," kata Yusril.

Selain itu, dia menambahkan, pernyataan pendapat presiden melanggar ketentuan pasal 7B UUD 1945 itu harus diputus MK.

Jika MK setuju, maka DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR.

"Proses ini akan berlangsung berbulan-bulan lamanya, dan saya yakin akan melampaui tanggal 20 Oktober 2024 saat jabatan Jokowi berakhir. Kalau 20 Oktober 2024 itu Presiden baru belum dilantik, maka negara ini berada dalam vakum kekuasaan yang membahayakan. Apakah mereka mau melakukan hal seperti itu? Saya kira negara harus diselamatkan," tutup Yusril. (dil/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler