jpnn.com - JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini (3/2) menggelar sidang kedua atas permohonan uji materi UU Pilpres dengan pemohon, Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Izha Mahendra. Agenda sidang kali ini adalah perbaikan permohonan.
Dalam kesempatan itu, Yusril menegaskan bahwa permohonannya untuk meguji sejumlah ketentuan di UU Pilpres berbeda dengan yang telah diajukan oleh Effendi Ghazali dan sudah diputus MK. Alasannya, pasal UUD 1945 yang digunakan sebagai dasar permohonannya berbeda dengan milik Effendi.
BACA JUGA: Pemerintah Siap Bahas 65 RUU Pemekaran
"Pemohon merujuk pada berbagai peraturan perundangan dan hukum acara MK. Apabila pasal yang diujikan sama dan UUD yang dibandingkan berbeda dan argumen berbeda maka tetap dapat dilaksanakan dan tidak ne bis in idem (mengadili perkara yang sama, red)," kata Yusril dalam persidangan di gedung MK, Jakarta, Senin (3/2).
Selain itu, Yusril dalam permohonannya juga tidak meminta MK menyatakan pasal-pasal dalam UU Pilpres bertentangan dengan konstitusi. Ia hanya meminta lembaga pimpinan Hamdan Zoelva itu memberikan tafsiran terhadap Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22 E dalam UUD 1945.
BACA JUGA: Yusril Ceramahi Hakim MK di Persidangan
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik (parpol) dan gabungan parpol peserta pemilu. Namun, menurut Yusril, dalam pasal tersebut tidak jelas pemilu mana yang dimaksud.
Sedangkan, bunyi Pasal 22 E UUD 1945 adalah pemilu dilaksanakan secara luber, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan wakil presiden yang pesertanya adalah partai politik. Menurutnya, pasal ini harus dimaknai bahwa pemilu dilaksanakan secara serentak setiap lima tahun.
BACA JUGA: Passing Grade Honorer K2 Lentur
"Kalau Mahkamah menafsirkan sesuai permohonan pemohon, maka tidak perlu lagi membuat undang-undang baru. Pemilu serentak bisa dilaksanakan tahun ini," tegas mantan Menteri Sekretaris Negara ini.
Yusril juga mempertanyakan tentang fungsi ambang batas pencalonan presiden alias presidential treshold (PT) dalam pemilu serentak. Pakar hukum tata negara itu berargumen bahwa PT tidak diperlukan lagi dalam pemilu serentak.
"Kalau pemilu serentak, bagaimana mengatur ambang batas? Oleh karena itu, kami mengajukan ini kembali," ujarnya.
Menanggapi permohonan Yusril, ketua majelis hakim panel, Arif Hidayat mengatakan, tiga hal yang dianggap baru oleh pemohon itu akan dibahas dalam rapat pleno hakim pertama.
"Pemohon mengungkapkan beberapa hal baru sehingga pemohon berpendapat ini tidak ne bis in idem dan berkaitan dengan presidential threshold yang belum diajukan. Termasuk mengkritisi keputusan MK dengan pemohon Effendi Gazali," ujar Arif menutup sidang yang berjalan sekitar 30 menit itu. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nilai Honorer K2 Jeblok, tak Mungkin Diangkat Semua
Redaktur : Tim Redaksi