10 Alasan Penolakan Kemen PU Digabung Kemenpera
Peran untuk merangkul multi-stakeholders ini harus fokus, dan tidak mungkin dijalankan pejabat setingkat Dirjen atau Menteri yang perhatiannya terbagi-bagi.
Kedelapan, urusan perumahan rakyat itu sangat kompleks. Ketika multi-sistem penyediaan (ke-6) masing-masing djabarkan melalui multi-dimensi (ke-5) dan melibatkan multi-stakeholders (ke-7), maka kompleksitas urusan perumahan rakyat akan semakin tinggi lagi. Pemahaman serba multi dari urusan perumahan rakyat ini bukanlah untuk mempersulit masalah, namun untuk menyelesaikan masalah secara efektif. Hal ini karena memang pembangunnan di semua sektor membutuhkan delivery system yang baik.
Sebagai contoh, bagaimana menangani urusan perumahan para purnawirawan dan warakawuri tentara dan polisi? Jika yang diinginkan hanya penyederhanaan penanganan, tinggal gusur saja mereka. Bahkan mereka digusur pakai senjata dan prajurit yang jadi anak buah suaminya semasa bertugas. Sungguh ironis sekali. Namun tindakan ini melanggar alasan ke-satu, bahwa perumahan adalah hak dasar warga negara.
Kesembilan, perumahan rakyat meliputi pula bidang perumahan swadaya yang tidak bisa dilepas begitu saja dan tidak sesuai jika digabungkan ke dalam urusan ke-PU-an. Bidang Perumahan Swadaya sangat sarat dengan aspek community development nya, sehingga untuk menjalankan sistem perumahan swadaya, seorang Menteri Perumahan Rakyat harus bisa memahami dinamika sosial yang berkembang di tengah masyarakat.
Sebagai contoh, bagaimana menangani permukiman kumuh di Kampung Pulo yang sudah melewati masa 6 Presiden dan 6 Gubernur Jakarta namun belum beres-beres juga misalnya? Jika tidak mau repot-repot memahami, tinggal gusur saja mereka. Namun tindakan ini juga melanggar hak asasi warga negara.
Kesepuluh, urusan perumahan rakyat memiliki aspek Pembiayaan Perumahan, yang sangat berbeda dengan pembiayaan infrastruktur ke-PU-an. Untuk mengendalikan sistem perumahan komersial, seorang Menteri Perumahan Rakyat harus bisa memahami mekanisme pembiayaan dan dinamika pasar/industri properti. Bidang pembiayaan perumahan juga sangat terkait dengan dana-dana masyarakat seperti tabungan perumahan rakyat (tapera), serta terkait pula dengan sistem pembiayaan properti yang melibatkan otoritas keuangan seperti BI dan OJK. Sedangkan Kemen-PU tidak ada urusan dengan OJK dan BI dalam soal pembiayaan pekerjaannya dan tidak (justru tidak boleh) terkait langsung dengan bisnis properti.
Sebagai solusi, sebenarnya ada pendekatan kelembagaan yang lebih baik untuk mengatasi tumpang tindih urusan perumahan rakyat dan PU, tanpa mengganggu karakter masing-masing urusan. Di dalam usulan Pokja Perumahan Rakyat rumah transisi sudah diusulkan agar Kementerian Perumahan Rakyat justru diperkuat dengan urusan permukiman dan perkotaan. Yaitu dengan menggabungkan Cipta Karya dan Tata Ruang (perkotaan) ke dalamnya. Dengan struktur baru seperti ini, selain tetap menjaga urusan perumahan rakyat yang ada unsur sosial-ekonominya, juga menghilangkan tumpang tindih dalam urusan prasarana permukimannya.
Berbagai kegagalan urusan perumahan rakyat pada pemerintahan reformasi hingga kini adalah karena mispersepsi terhadap tata-kelola perumahan rakyat. Disangkanya urusan Menpera sebatas mengendalikan tender rumah susun. Disangkanya sebatas bagi-bagi duit untuk bedah rumah, atau disangkanya pula sebatas gunting pita peresmian proyek pengembang swasta. Yag lebih parah adalah motif untuk mengendalikan placement dana-dana besar seperti FLPP, Bapertarum dan SMF hingga senilai lebih dari 20 triliun rupiah. Namun kekeliruan selama 15 tahun pemerintahan reformasi tidak berarti Menpera harus disatukan dengan Kemen-PU. Yang perlu dilakukan adalah benar-benar membenahi dan memperkuat posisi Kementerian Perumahan Rakyat untuk mencapai rumah layak huni untuk semua rakyat dan kota-kota tanpa permukiman kumuh.