4 Rekomendasi KPAI untuk Menteri Nadiem
jpnn.com, JAKARTA - Tujuh komisioner dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan audiensi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Pertemuan yang berlangsung Kamis (26/12) dihadiri Susanto (ketua), Rita Pranawati (Wakil Ketua, Retno Listyarti (bidang Pendidikan), Susianah, Sitti Himahwaty, Putu Elvina dan Jasa Putra.
Menurut Retno, pada pertemuan tersebut, KPAI menyampaikan catatan kekerasan sepanjang 2019 yang terjadi di lingkungan sekolah kepada Mendikbud Nadiem Makarim. Juga menyampaikan empat rekomendasi terkait kebijakan pendidikan yang digaungkan oleh Menteri Nadiem.
Adapun rekomendasi KPAI untuk Nadiem adalah:
1. Tingginya angka kekerasan di lembaga pendidikan, KPAI mendorong Kemendikbud untuk melatih para guru mencegah dan menangani kekerasan di sekolah sekaligus mensosialisasi Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Mengingat dari hasil pengawasan KPAI, pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah selama 4 tahun terakhir ini tidak mengacu pada Pemendikbud tersebut. Perlu sosialisasi dan pelatihan untuk para guru dan kepala sekolah. Minimal para guru dan sekolah mengetahui dahulu bahwa ada cara pencegahan dan penanganan kekerasan ketika kekerasan terjadi di sekolahnya.
2. Presiden Jokowi pada periode keduanya juga menargetkan penurunan angka kekerasan anak di sektor privat dan public. Oleh karena itu, sekolah sebagai lembaga publik harus didorong memiliki sistem pengaduan yang melindungi anak saksi dan anak korban kekerasan untuk bicara dan mengadu. Juga perlu kepekaan dari orang dewasa di sekolah terhadap anak-anak korban kekerasan.
3. Presiden Jokowi di periode keduanya juga menargetkan penurunan angka pekerja anak dan perkawinan anak. Hal ini bisa dicapai jika pemerintah melalui Kemendikbud memperluas akses sekolah bagi anak-anak di berbagai pelosok daerah agar bisa mealanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mengingat lama sekolah di Indonesia saat ini hanya 8.5 tahun (bahkan tidak lulus SMP, karena untuk lulus SMP lama sekolah adalah 9 tahun)
"Perluas akses ini dapat dilakukan dengan menambah jumlah SMP Negeri di berbagai pelosok negeri yang saat ini hanya berjumlah 38 ribu, padahal jenjang SDN mencapai 148 ribu. Makanya banyak anak Indonesia hanya lulus SD," terang Rerno.
Ketika anak hanya bisa lulus SD, maka pekerja anak dan perkawinan anak menjadi tinggi, tetapi ketika akses ke jenjang SMP dan SMA/sederajat dapat dijangkau maka angka pekerja anak dan perkawinan anak bisa diturunkan