Agar Pasien Tak Lagi Gunakan Kobokan di Perut
Tidak tinggal diam, pria lulusan FK Unair 1974 itu mencari solusi. Dokter bedah digestif tersebut berpikir bahwa dirinya harus menemukan bahan yang berbentuk parabola. ’’Ya, batok kelapa,’’ katanya.
Untung, ketika itu kerabat pasien yang dirawatnya adalah perajin. Dia bisa membuatkan batok kelapa sesuai pesanan Vicky. ’’Saya sesuaikan desain supaya enak dipakai,’’ kata pria kelahiran Bangkalan, 11 September 1955, itu.
Berdasar desain Vicky, batok kelapa itu dibelah menjadi hampir seperempat bulatan. Bentuknya persis seperti mangkuk. Tapi, tidak terlalu dalam. Persis alas cangkir, tapi sedikit lebih cembung.
Nah, bagian dasarnya diberi lubang yang ukurannya sama seperti lubang usus pada perut pasien. ’’Mangkuk’’ batok itu diletakkan di perut. Dasarnya, bagian luar batok menempel pada lubang dan mulutnya –bagian dalam batok– menganga ke luar.
Dua bagian samping batok itu lalu dibor dan diberi tali karet. Persis karet pada topeng anak-anak yang lantas dicantolkan di telinga. Nah, ’’telinga’’ batok itulah yang kemudian diberi sabuk dan diikatkan di perut. ’’Kan nggak bisa lepas,’’ imbuhnya. Bagian dalam atau cekungan batok itu ditempeli plastik sebagai penampung kotoran.
Batok pertama buatannya lantas dicoba si pasien. Hasilnya, pasca pemakaian, iritasi hilang. Kulitnya pun kering.
Dirasa cocok, kreasi batok itu lalu ditawarkan kepada beberapa pasien yang kurang mampu. Sebab, kala itu batoknya gratis. Bandingkan dengan colostomy bag berperekat karaya gum yang harganya selangit. ”Karaya gum itu perekat berbahan getah alami pohon. Sebenarnya, aman dan bisa serap air,” jelasnya.
Idealnya, lanjut dokter yang berdinas di departemen bedah sejak 1998 itu, memang perekat yang bagus adalah yang berbahan karaya gum. Namun, tidak semua pasien mampu membelinya.