Agar Pasien Tak Lagi Gunakan Kobokan di Perut
Lama-kelamaan kian banyak pasien yang tertarik dengan si keras berwarna cokelat itu. Ketika dipakai, kulit di sekitar kolostomi selalu kering. Tak merah, apalagi iritasi.
Vicky pun penasaran. Baru pada 2008 rasa penasaran tersebut terjawab. Lelaki penggemar tenis itu meneliti batok kolostomi tersebut. Dia membeli sekantong penuh batok dari pasar. Ya, dia membeli. ”Dulu gratis sekarang bayar. Karena banyak sentra kerajinan yang juga pakai batok,” ujarnya.
Batok-batok tersebut lantas direndam selama enam jam dalam 600 ml air, kemudian ditimbang massanya. Setelah itu, batok dijemur di bawah terik matahari selama enam jam, pukul 09.00–15.00. ”Terik jam segitu masih bagus. Jadi, batok bisa kering,” ungkapnya.
Hasilnya bukan main. Selain kering, batok tersebut malah bisa digunakan lagi. Sebab, batok tersusun dari cellulose (selulosa) dan lignin. Keduanya merupakan serat dan pengikat. Karena itu, meski dijemur dan kembali digunakan, air tetap bisa terserap maksimal.
Selain panas matahari, batok bisa dikeringkan dalam oven dengan suhu tertentu. ”Itu untuk jaga-jaga kalau musim hujan dan tidak ada sinar,’’ katanya.
Hasil uji cobanya dalam oven adalah pada suhu 110 derajat Celsius, batok kering dalam waktu 60 menit. Bila 120 derajat Celsius, keringnya 40 menit, sedangkan pada suhu 130 derajat Celsius, hanya butuh 30 menit atau setengah jam.
Eksperimen itu juga membuktikan daya serap batok sama dengan bahan karaya gum. Dua bahan alami tersebut sama-sama terbentuk dari selulosa dan lignin. Jadi, dipastikan aman dan ampun mencegah iritasi.
Tidak menunggu lama, ide kreatif, hemat, dan mudah itu diwujudkan. Lelaki beranak dua tersebut mulai mencari perajin yang bisa membuat batok kreasinya.