Ahli Sebut Pemeriksaan Calon Tersangka Hukumnya Wajib
Hal tak jauh beda juga dikatakan ahli Margarito Kamis mengenai putusan MK. Menurutnya, hasil putusan MK bersifat final and binding berlaku sebagai hukum positif, mengikat kepada semua sejak diundangkan dan bersifat imperatif.
"Menurut Putusan MK, adanya alat bukti yang cukup dan pemeriksaan calon tersangka sifatnya mutlak, harus dipenuhi. Tidak boleh dikesampingkan, karena merupakan hak yang dilindungi menurut UUD’45 pasal 28 D. Adanya Putusan MK nomor: 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 berlaku juga untuk KPK dan harus dipatuhi," tegasnya.
Sementara ahli hukum acara pidana ahli Choirul Huda memaparkan Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.
Kemudian Mudzakir yang juga memberikan keterangannya menjelaskan, menurut hukum acara pada mulanya praperadilan hanya lingkup pada pasal 77, yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Namun, perkembangannya setelah ada putusan MK yakni mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka menjadi jelas masuk lingkup Praperadilan.
"Terdapat Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, yang menyebutkan frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup sebagaimana yang tertuang Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya. Karena adanya putusan MK nomor 21, pemeriksaan terhadap terlapor/ calon tersangka sifatnya adalah wajib," katanya.
Nah, didalam Pasal 28 A-J adalah termuat mengenai implementasi dari HAM, oleh karenanya Putusan MK nomor 21 bersifat Imperatif. Putusan MK juga dapat memberikan interpretasi terhadap keadaan perundang-undangan baru.
Ketidakpatuhan aparat penegak hukum terhadap Putusan MK atau aturan yang telah menjadi undang-undang adalah tindakan penegak hukum yang inkonstitusional.