“AHY The Next Leader' Politik Jalan Tengah Solusi Indonesia Kini
Oleh Boni Jebarus, Anggota DPRD Provinsi NTTjpnn.com - Masih ingatkah Gede Mata? Gede mata adalah singkatan dari gerakan desa masuk kota. Gerakan dari daerah untuk masyarakat Jakarta. Gerakan yang digagas Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan menjadi pola yang ditiru oleh PDIP dan Gerindra pada pilkada DKI.
Antusiasme kader dari daerah yang mengepung Kota Jakarta untuk pemenangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) punya cerita tersendiri.
Dibalut rasa cinta pada partai yang babak belur dihantam buzzer dan media, tetapi semangat kader tetap bergelora. Mengais suara tercecer bersenandung silatuhrahmi, mendendangkan kasih sanak family demi kemenangan AHY. Namun apa daya, anak muda brilian ini jatuh diangka tujuh belas perolehan suara. AHY pun kandas.
Menantang ganasnya Pilkada Jakarta memang tidak gampang. Apalagi AHY ibarat kambing bertandang di kawanan serigala. Ibarat banteng di kawanan badak bercula banyak. Tetapi satu hal yang perlu disadari bahwa roh politik sedang menawarkan tokoh alternatif yang tak mampu ditembus oleh politik identitas.
Pilkada DKI memang penuh nuansa indentitas seperti bau kentut. Baunya terasa, namun sumbernya tidak jelas. Fitnah dan cacian menghiasi dinding dan pintu jiwa. Pekikan tuntutan memekakkan telinga. Raungan gerombolan merusak kalbu. Jakarta kota fitnah. Pusaran fitnah dan hoaks menembus nusantara. Bahkan dunia. Namun sayang, banyak awam yang tak waras dan banyak elite yang tak mengerti. Benturan politik identitas membara namun masih aman. Oh, Jakarta nasibmu kini.
Dengan lantang dan gagah perkasa jiwa ksatrianya di medan laga menembus jantung panas penguasa. Ucapan selamat kepada lawan menohok galau lawan bahwa politik fitnah dan hinaan tidak akan menumbangkan jiwa. Tetapi tegak berdiri menengadah langit, "Aku Nakhoda Sukmaku”.
Wahai penguasa yang memanggil Antasari di menit terakhir. Dimanakah dia kini? Duhai tetangga pelaku makar. Aku tak tahu kau siapa. Tapi mengapa namaku disayat. Suara mu bukan untukku, ternyata untuk dia. Dia yang kau datang menyapa di Hambalang. Menunggang kuda bercadar gembala laksana pahlawan menyirami bara. Sejuk, riuh rendah bertepuk tangan. Kami di sini di-bully tak henti disangka mendanai lautan manusia mengitari Monas dan mengepung istana menuntut penista segera ditangkap.
Kami dibully, difitnah dan tuduhan membonceng untuk pilkada. Istana pun bergoncang, demo kedua datang menghampiri Monas dengan berjalan kaki beratap payung biru. Publik tersenyum, senyum aneka rasa. Rasa bangga, sinis, cibir dan banyak yang penasaran.