Ajukan Pejabat Tukang Tidur Jadi Wali Kota
Pengamat Kritisi Kebijakan Jokowijpnn.com - JAKARTA PUSAT - Nama Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI Anas Effendi mencuat saat acara mutasi para pejabat eselon yang dilantik Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu lalu (12/2). Anas diajukan Jokowi sebagai calon wali Kota Jakarta Barat (Jakbar). Namanya telah direkomendasikan ke DPRD sebagai pengganti Fatahillah yang saat ini menjabat Wali Kota Jakbar.
Usulan nama Anas mengundang tanda tanya sejumlah pihak. Sebelumnya Anas dinilai berkinerja buruk ketika menjabat wali Kota Jakarta Selatan. Dia lantas dicopot dari jabatannya.
Lalu, Anas tepergok wartawan tertidur pulas saat berlangsung rapat paripurna DPRD DKI pada 13 Maret 2013. Saat itu Jokowi berpidato dalam rapat pengesahan APBD 2013. Ketika ditanya mengapa tidur, Anas mengaku bahwa dirinya mengantuk karena semalam suntuk menonton sepak bola di televisi.
Pengamat pemerintahan Amir Hamzah mengritik Jokowi dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terlampau meledak-ledak saat mencopot Anas Effendi dulu. "Terkadang Jokowi-Ahok kan suka menggebu-gebu kalau mau kasih alasan mencopot orang. Seolah-olah dibuat selesai sudah karirnya kalau sudah dicopot," kata dia saat dihubungi kemarin (15/2).
Menurut dia, pengusulan kembali Anas bisa menjadi preseden buruk. Para pejabat pemprov yang dicopot dan dinilai berkinerja buruk bisa saja menganggap enteng mutasi terhadap diri mereka. "Mereka bisa saja berpikiran, sikap tegas Jokowi hanya main-main. Sebab, buktinya Anas Effendi ini (dipilih lagi)," jelas dia.
Meski begitu, dia tak mempersoalkan pengajuan Anas Effendi sebagai calon wali kota. Sebab, ada beberapa pertimbangan yang menyertai. Anas punya pengalaman sebagai mantan wali Kota Jakarta Selatan.
DKI Jakarta, kata dia, juga butuh perwakilan tokoh Betawi untuk menduduki pos strategis di wilayah. "Itu bisa jadi pertimbangan karena secara kultural perlu perwakilan tokoh Betawi di wilayah," ungkapnya.
Selain itu, lanjut Amir, pengusulan nama itu merupakan hak prerogatif gubernur. Hal itu didasarkan pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah.