Amandemen UUD 45 untuk Perbaiki Ketatanegaraan
Kamis, 15 Desember 2011 – 19:04 WIB
“UUD 1945 tidak sakral, dan tidak perlu disakralkan, meskipun perubahan konstitusi membutuhkan prasyarat yang tidak mudah. Tidak ada konstitusi yang sempurna, karena konstitusi merupakan resultante kebutuhan suatu bangsa atau negara, juga kristalisasi pemikiran anak-anak negeri yang berkembang merespon kebutuhan. Wacana mengubah UUD 1945 di arena publik adalah wajar, menunjukkan bahwa masyarakat kita sangat dinamis. Partisipasi publik justru wajib ditampung guna memperkaya alternatif,” ujar Hajriyanto.
Ketua Bidang Keagamaan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar (2009-2015) itu menyatakan,perubahan kesatu, kedua, ketiga, dan keempat UUD 1945 mengandung kelemahan konsepsional, utamanya yang strategis. Makanya, beberapa tahun kemudian bermunculan berbagai macam kritikan dan keluhan, bahkan kecaman.
“Akhir-akhir ini orang mempertanyakan mengapa kita meniadakan GBHN (garis-garis besar haluan negara) dari sistem ketatanegaraan kita, Eka Prasetya Pancakarsa atau P4 (Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila), dan Sidang MPR sebagai lembaga pertanggungjawaban formal presiden dan wakil presiden. Sering kali kita tidak siap ketika menghadapi perubahan, utamanya menyangkut konsep-konsep yang strategis. Tidak jarang, karena ketidaksiapan itu kita menemukan kelemahan-kelemahan yang ironisnya terungkap setelah terjadi perubahan UUD 1945.” (fas/jpnn)