Amelia Yani Menangis saat Cerita Ayahnya Ditembus 7 Peluru
Jadi, lanjut dia, bohong saja jika ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa tidak ada penyiksaan yang dilakukan oleh PKI terhadap para Pahlawan Revolusi.
Selain itu, Amelia mengaku memiliki sejumlah dokumen yang membenarkan adanya penyiksaan, bahwa hasil forensik dokter RSPAD serta dokumen laporan Letkol Subardi dan dokumen penemuan jenazah di sumur Lubang Buaya. "Itu tidak bisa dimaafkan. (Peristiwa, Red) itulah sebuah kekejaman," tegasnya dengan nada tinggi.
Hingga tepat 5 Oktober 1965, Amelia beserta keluarga besar dan keluarga dari para Pahlawan Revolusi melakukan prosesi pemakaman.
"Hari itu udara Jakarta mendung disertai hujan rintik, tangis dimana-mana, amarah memuncak, suasana duka, haru yang dalam, sesudah pidato Pak Nasution, perlahan Panser yang membawa jenazah para pahlawan bergerak perlahan, ribuan bahkan ratusan ribu masyarakat hadir, sepanjang jalan berdoa," terangnya.
Dirinya mengaku belum pernah melihat ataupun merasakan kesedihan seperti saat itu, masyarakat turut larut dalam duka, sepanjang jalan mungkin tiga sampai empat jam iring-iringan Panser serta pasukan baru sampai TMP Kalibata.
Di sana pun ribuan masyarakat menunggu kedatangan jenazah para Pahlawan Revolusi. Amelia juga ingat kata-kata ayahnya, yang seolah menjadi firasat.
"Benar kata bapak siang itu pada 30 September 1965, pada 5 Oktober semua ikut bapak ke Istana, bolos semua. Benar kami bolos mengantar bapak ke istana peristirahatan terakhir TMP Kalibata. Selamat jalan bapak. Harummu akan terus mewarisi kami dan seluruh bangsa yang menghargai pengabdian-mu yang utuh dari pengorbanan seorang prajurit yang cinta Tanah Air," kisahnya, dengan suara terisak.***