Amendemen UUD Hanya Melayani Kepentingan Elite Politik
jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti melihat wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang bakal memasukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) hanya keinginan Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) untuk mendapatkan kewenangan lebih besar.
"Ini kemauan MPR saja, untuk mengambil kembali kekuatan politiknya yang dulu sudah dikembalikan ke rakyat pada amendemen 1999-2002," ujar Bivitri saat dikonfirmasi, Kamis (19/8).
Bivitri menilai Indonesia sudah memiliki UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengatur adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek.
"Bahwa masih ada yg tidak selaras, kesalahan bukan pada dokumen (harus berbentuk RPJM atau PPHN) tetapi dalam pelaksanaannya," tutur Bivitri.
Menurut Bivitri, cara pandang kontrol pusat melalui PPHN sudah ketinggalan zaman. Dalam penyelenggaraan negara modern, kata dia, terutama yang mendukung inovasi dan juga adaptif, tidak perlu ada "haluan negara" yang ditentukan dengan ketat.
"Model RPJM yang sekarang sudah bagus, apalagi levelnya kebijakan di tingkat UU, sedangkan PPHN yang diinginkan MPR kan levelnya "ketinggian," di atas UU, sehingga tidak felksibel dan akan banyak implikasi negatif untuk kebijakan teknis," ucapnya.
Selain itu, PPHN dinilai tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan saat ini, sehingga adanya PPHN nanti tidak ada implikasi hukum tata negara apabila tidak diikuti.
"Tidak bisa lagi dijatuhkan dengan alasan politik pelanggaran PPHN seperti halnya dulu Soekarno dianggap melanggar haluan negara," kata Bivitri.