Amerika Vs Tiongkok di Laut China Selatan, Apa Dampaknya Bagi Indonesia?
Dari sudut pandang Donald Trump, ujar Teuku Rezasyah, krisis di Laut China Selatan ini sangat menantang kepemimpinan global AS sebagai negara maritim, yang mengharamkan munculnya Tiongkok sebagai pesaing global.
Donald Trump cenderung mengawinkan momentum Pilpres bulan November 2020 dengan krisis di Laut China Selatan guna meningkatkan kredibilitasnya di dalam dan luar negeri, agar terpilih kembali sebagai Presiden.
Sebaliknya, RRC sudah berada pada posisi angkuh, mengingat keberhasilannya menangani COVID-19, kerontokan ekonomi negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan ASEAN, yang selama ini mengkritisi kepemilikan lahan RRC di Laut China Selatan.
RRC semakin percaya diri, mengingat meningkatnya kredibilitas RRC pasca pembangunan Belt and Road Initiative (BRI) dan investasi langsungnya di Asia dan Afrika.
Konflik di Laut China Selatan ini diperkirakan hanya sebatas saling mengancam secara militer, pemberian sanksi ekonomi, dan tekanan politik. Karena para pelakunya, dalam hal ini RRC dan AS berikut sekutunya, juga mengkhawatirkan dampak global dari krisis ini.
Walaupun tidak akan terjadi konflik terbatas antara RRC melawan AS beserta sekutu-sekutunya, kemungkinan besar yang terjadi adalah Perang Dingin Terbatas di Laut China Selatan, ujar Teuku Rezasyah.
Contohnya adalah saling kecam dan saling memainkan aturan hukum internasional, berikut kampanye global yang saling menyudutkan.
"Akan terjadi juga pacu senjata, berupa pembelian senjata secara besar-besaran di kalangan sekutu-sekutu AS, yang disertai latihan militer dalam skala rendah," kata dia.