Anak Panah dari Al Hikmah
Oleh Dahlan Iskanjpnn.com - Saya hidup seperti kamu. Saya berdiri di sebelahmu. Tutuplah matamu. Lihatlah sekeliling. Kau akan melihatku ada di depanmu.
Saya baca kata-kata itu. Tergantung di banner. Tertera di dinding. Di ruang terakhir museum Khalil Gibran.
Di depan peti matinya. Yang masih tersimpan mayat. Yang hampir 90 tahun di dalamnya. Entah masih bersama dagingnya. Atau sudah tinggal tulang-tulangnya.
Peti mati itu tiba dari New York tahun 1932. Setahun setelah kematian penyair dunia itu. Peti kayu di dalamnya. Peti baja di luarnya.
Saya lupa menghitung ada berapa ruang di museum itu. Agar Anda ke sana. Membantu saya menghitungnya. Rasanya sekitar 12 ruang. Yang semuanya gelap. Yang listriknya baru menyala satu persatu. Sesaat sebelum kita memasuki setiap ruangnya.
Museum ini penuh lukisan karya Khalil Gibran. Di setiap ruangan. Ada pula kursi dan tempat tidur. Beberapa. Yang pernah digunakannya di akhir hidupnya. Di New York. Di umur 48 tahun. Akibat sirosis hati. Dan sakit paru.
Gibran memang sangat menderita di akhir hidupnya. Kebanyakan minum cinta. Dan minuman keras.
Pernah ia cukup lama. Menyendiri. Di dalam kamarnya. Hanya berteman satu itu: yang memabukkannya itu.