Analisis Boni soal Reuni 212 Jadi Gerakan Politik
jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Boni Hargens menilai Reuni 212 merupakan gerakan politik oposisi. Menurutnya, ada tiga aspek yang memperkuat anggapannya tentang Reuni 212 sebagai gerakan politik penentang Presiden Joko Widodo.
Aspek pertama adalah sejarah. Boni mengatakan, Gerakan 212 muncul dari kasus penodaan agama yang menyeret mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok sebagai pesakitan pada 2016. Saat itu Ahok merupakan calon petahana pada Pilkada DKI, sedangkan penantangnya adalah Anies Baswedan - Sandiaga Salahudin Uno.
"Sejak saat itu, pengelompokan berdasarkan agama menjadi tren baru dalam politik nasional Indonesia. Politik identitas menjadi dinamika yang tak terbendung," ujar Boni pada seri diskusi merawat Ke-Indonesiaan yang digelar Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) di Jakarta, Rabu (5/12).
Direktur LPI itu menjelaskan, politik identitas merupakan gejala global yang mewarnai politik dunia belakangan ini. Di belahan negara lain, katanya, politik identitas selalu menjadi gerakan alternatif dalam melawan ketimpangan dan ketidakadilan struktural akibat globalisasi dan politik liberal.
"Di Indonesia, politik identitas berubah menjadi politisasi identitas yang kebablasan, yang berbaur dengan metode black campaign meskipun dibalut dengan istilah negative campaign," ucapnya.
Yang kedua adalah aspek waktu. Menurutnya, Gerakan 212 makin aktif menjelang Pemilu 2019.
Boni menangkap kesan bahwa komunitas 212 kini menjadi gerakan kampanye politik yang tidak bisa lagi dianggap sebagai perjuangan moral murni. Kesan itu makin kuat ketika Prabowo Subianto menandatangani kontrak politik dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama.
"Jadi, Gerakan 212 yang aktif sejak 2016 dan diperkirakan akan terus aktif sampai Pemilu 2019, dapat disimpulkan bagian dari skenario kampanye politik untuk mendukung calon tertentu untik mengalahkan petahana Joko Widodo-Ma'ruf Amin" katanya.