Anggota DPR Minta Dirut BPJS Mencabut Pernyataannya
Dia menegaskan bahwa pulsa telepon itu adalah kebutuhan sekunder, bahkan tersier. Menurut dia, orang yang tidak punya telepon bisa hidup senang, gembira, tertawa, beraktivitas, dan sekolah. Lantas, kata Saleh, kalau tidak punya akses kesehatan, orang bisa meriang, merinding, bahkan meninggal dunia.
“Bisa dibayangkan tidak? Tolong cabut itu (pernyataan),” katanya.
Saleh pun mengingatkan dirut BPJS tidak usah ngomong macam-macam ketika banyak orang mempertanyakan ihwal kenaikan iuran. Dia menyarankan sebaiknya dirut BPJS menyatakan bahwa kenaikan itu adalah urusan pemerintah.
“Karena undang-undangnya yang menaikkan itu pemerintah, bukan dirut BPJS. Kenapa dikomentari? Itu tidak pas. Saya protes. Karena saya tahu persis, masyarakat yang protes ke saya juga ngomong seperti itu,” kata Saleh.
Sebelumnya diberitakan, Fachmi menyebut iuran BPJS Kesehatan lebih murah dibanding pulsa telepon.
Hal itu dia katakan mengomentari kenaikan tarif Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sesuai perpres, iuran peserta mandiri untuk kelas I menjadi RP 160 ribu. Kelas II Rp 110 ribu, dan kelas III Rp 42 ribu.
Menurut Fahmi, kalau dikalkulasi per tahun, memang besaran pembayaran mencapai jutaan, tetapi dihitung secara harian iuran BPJS lebih murah dibanding pulsa karena hanya menyisihkan Rp 2 ribu per hari.
“Kalau bicara perbandingan lebih murah dari pulsa,” ujar Fahmi di kantor pusat Kemenkes, Jakarta Pusat, Jumat (1/11). (boy/jpnn)