Anies, Ganjar, dan Layangan Putus
Oleh: Dhimam Abror DjuraidPara kepala daerah itu merupakan tokoh drop-dropan yang harus direstui pemerintah pusat. Meskipun tokoh itu berasal dari daerah, tetapi dalam praktiknya ia tetap dianggap drop-dropan, karena harus direstui oleh pusat.
Memang ada mekanisme pemilihan oleh DPRD, tetapi hanya bersifat proforma saja. Komposisi keanggotaan dewan yang didominasi oleh partai penguasa akan menjamin calon drop-dropan itu untuk menang.
Ketika kekuasaan Orde Baru berakhir karena gerakan reformasi, maka mandat demokrasi dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pemilihan langsung. Banyak kelemahan dan keluhan terhadap pelaksanaan pemilihan langsung.
Selain menimbulkan politik biaya tinggi, high cost politics, pemilihan langsung berpotensi memunculkan berbagai praktik ireguler dan ilegal, seperti money politics dan vote buying, politik uang dan jual beli suara.
Pemilihan langsung juga sering menguntungkan calon yang berduit, dan mengorbankan calon yang berkualitas, tetapi cekak modal. Pemilihan langsung juga memunculkan bandar-bandar politik yang berani berjudi mengeluarkan biaya besar dengan imbalan proyek.
Politik biaya tinggi dan munculnya para bandar politik ini menjadi salah satu sumber korupsi paling besar di daerah. Jual beli jabatan dan penarikan upeti menjadi praktik umum yang dilakukan oleh kepala daerah, untuk mengembalikan modal dan kejar setoran membayar utang kepada para bandar.
Demokrasi memang mahal dan tidak sempurna. Namun, itu tidak menjadi alasan untuk kembali kepada sistem totaliter ala Orde Baru, dengan mencabut daulat rakyat untuk menentukan pemimpinnya sendiri.
Kalau rakyat tidak bisa memilih pemimpinnya secara langsung pada 2022, setidaknya para wakil rakyat di parlemen diberi hak untuk mewakili rakyat dalam memilih dan menentukan pemimpinnya.