Antara PP E-Commerce dan UMKM
Semua tak lepas dari potensi besar niaga-el di dunia. Mengutip data yang dipaparkan Kementerian Perdagangan dalam Forum E-Commerce Indonesia 2019 di Jakarta, Senin, 9 Desember 2019, potensi e-commerce dunia diramal mencapai USD ,6,53 triliun atau Rp 91,5 kuadriliun pada 2023.
Khusus untuk Indonesia, gross merchandise value (GMV) atau total transaksi e-commerce di tahun ini diperkirakan USD 21 miliar atau Rp 294 triliun. Dalam enam tahun ke depan, nilai itu proyeksikan menembus USD 82 miliar atau Rp 1.100 triliun!
Proyeksi-proyeksi tersebut bukan kaleng-kaleng. Salah satu faktor penunjang adalah penetrasi internet di tanah air yang terus melesat. Tahun lalu saja, sudah 171,17 juta jiwa yang menggunakan internet. Jumlah ini dipastikan akan terus meningkat seiring pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang dilakukan pemerintah.
Belum lagi jumlah pelaku UMKM di Indonesia yang mencapai 59,2 juta pelaku usaha. Dari jumlah itu, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mencatat 3,79 juta sudah memanfaatkan platform online dalam memasarkan produk mereka (kominfo.go.id).
Data dan fakta itu membuat pemerintah merasa perlu membuat payung hukum yang dapat mengakomodasi perkembangan e-commerce.
Dengan kejelasan aturan main dan kesempatan berusaha, maka Kementerian Perdagangan mengharapkan pemain lokal semakin percaya diri untuk turut bersaing memperoleh keuntungan berdagang dari tren e-commerce yang semakin meningkat.
Penulis pun memiliki pandangan senada berkaitan dengan filosofi itu. Sederhana. Semua itu tertuang dalam sila kelima dalam Pancasila yang berbunyi "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".
Pemerintah, dalam konteks ini, ingin menghadirkan level of playing field yang sama antara e-commerce dengan perdagangan secara offline.