Anwar Budiman: Sudahkah Indonesia Merdeka dari Korupsi?
jpnn.com, JAKARTA - Praktisi hukum dan pengamat politik, Dr Anwar Budiman mempertanyakan sudahkah bangsa ini merdeka dari korupsi setelah 73 tahun usia Kemerdekaan Indonesia hari ini, Jumat (17/8/2018)? Atau justru merdeka untuk korupsi?
“Bila mencermati Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, ternyata kita belum merdeka dari belenggu korupsi, bahkan mungkin justru merdeka untuk korupsi,” ungkap Anwar Budiman di Jakarta, Jumat (17/8/2018).
Tahun 2017, menurut Anwar, skor Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tetap pada angka 37 dari 100 poin atau berada pada posisi 96 dari 180 negara, turun dari posisi sebelumnya, 90. “Tingginya korupsi politik di Indonesia menjadi persoalan mendasar anjloknya peringkat Indonesia,” katanya.
Menurut Anwar, aepanjang tahun ini saja terhitung sejak 1 Januari hingga 18 Juli, sebanyak 19 kepala daerah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi. Dari jumlah itu, 15 di antaranya berawal dari Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sejak berdiri tahun 2003, KPK telah memproses 98 kepala daerah dalam 109 perkara korupsi dan pencucian uang.
“Ini belum termasuk perkara korupsi yang ditangani kepolisian dan kejaksaan,” cetusnya sambil merujuk data Kementerian Dalam Negeri di mana tahun 2004 hingga 2017 ada 313 kepala daerah terlibat korupsi.
“Sejumlah mantan menteri juga terlibat korupsi,” tambahnya.
Kasus korupsi tersebut, menurut Anwar, baru pada ranah eksekutif. Sedangkan di ranah legislatif, dalam 10 tahun terakhir, KPK mencatat sedikitnya 135 anggota DPR RI terlibat korupsi. Sedangkan jumlah anggota DPRD yang terlibat korupsi mencapai 3.650 orang. “Korupsi di legislatif ini juga melibatkan top pimpinan mereka, yakni mantan Ketua DPR RI dan mantan Ketua DPD RI,” katanya.
Di ranah yudikatif, tutur Anwar masih mengutip data KPK, sepanjang 2005-2016 setidaknya ada 41 penegak hukum terlibat korupsi. Aparat penegak hukum ini meliputi hakim, panitera dan pengacara.
Tahun 2017, KPK melakukan sedikitnya empat kali OTT terhadap aparat penegak hukum. Data ini belum termasuk kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, serta para penegak hukum yang mendapat sanksi etik.