Apa Solusi Defisit Iuran BPJS Kesehatan di Tengah Isu Corona?
jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan memberikan solusi bagi pemerintah untuk menekan defisit BPJS Kesehatan pascaputusan Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran hingga 100 persen yang berlaku 1 Januari 2020 lalu.
Dengan terbitnya putusan MA yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur kenaikan iuran tersebut, defisit BPJS Kesehatan diprediksi kembali meningkat. Padahal, per Desember 2019 defisitnya masih Rp13 triliun.
Heri mengatakan, DPR akan mengawasi pelaksanaan putusan tersebut dan mengimbau semua pihak untuk tunduk dan patuh dengan putusan tersebut. Meskipun, saat ini Indonesia tengah dilanda virus Corona, yang berdampak pada perekonomian nasional.
"Silakan saja pemerintah mengkaji Putusan MA yang sifatnya final dan mengikat itu, untuk kemudian menentukan langkah-langkah kebijakan yang harus segera diambil menyikapinya," ucap Heri menjawab jpnn.com, Jumat (20/3).
Pihaknya mendorong agar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan BPJS Kesehatan duduk bersama untuk menghitung defisit berjalan. Sebab, diperlukan validitas data tentang peserta BPJS yang ada di Kelas I, II, dan III.
Wakil ketua Fraksi Gerindra DPR ini menegaskan, BPJS Kesehatan adalah program kerakyatan yang harus dijaga agar tetap sustainable, dan tidak terganggu kinerjanya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyat.
Oleh karena itu, ada beberapa solusi yang bisa ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah defisit tersebut. Salah satunya menurut Hergun -sapaan Heri Gunawan, dengan mengurangi besaran kupon/bunga pada Surat Utang Negara (SUN). Sehingga selisihnya bisa dipergunakan untuk menutup defisit BPJS.
"Sebagai perbandingan, saat ini untuk SUN tenor 10 tahun, Indonesia memberi kupon 6,97 persen sementara Vietnam hanya 2,34 persen. Tingkat kupon yang tinggi akan menguras keuangan negara. Contoh untuk tahun 2020, pemerintah harus menyiapkan biaya bunga sebesar Rp. 295 triliun," jelas Hergun.