Arimbi Vero
Oleh Dahlan IskanSelendang tipe jumputan itu, di dunia nyata, ternyata produk penghuni rumah susun. Dijual di lobi Artpreneur sore itu.
Di akhir cerita baru ketahuan: sang ibu dulunya kawin dengan penari juga. Lalu pindah ke Jakarta. Ingin karir tarinyi melejit ke tingkat nasional. Seperti temannyi yang sudah lebih dulu sukses.
Mereka sewa pondokan di rumah reot di bantaran sungai. Kena gusur. Dipindah ke rumah susun.
Nasib orang begitu berbeda. Teman akrabnyi sukses sekali. Kaya. Sampai punya sanggar tari sendiri. Bahkan bisa ke New York. Memperdalam tari di sana. Bertahun-tahun. Sampai-sampai sang ibu punya cita-cita: kalau punya anak akan diberi nama sama dengan temannyi itu.
Mengharukan: di akhir cerita sang ibu ditengok teman lamanyi itu. Yang bernama Sinta Arimbi itu. Diantar oleh Sinta Arimbi, anaknyi. Sang teman yang kemudian akan mengurus kesembuhan wanita itu.
Operet Selendang Arimbi memang bercerita di seputar rumah susun. Namun jangan membayangkan ada adegan kumuh atau kotor atau semrawut di panggung. Di operet ini kemiskinan digambarkan tidak dengan kekumuhan.
Sang sutradara kelihatan sadar sekali bahwa operet Selendang Arimbi akan ditonton golongan atas. Tempat pementasannya saja di Artpreneur Ciputra. Harga tiketnya saja Rp 750 ribu. Yang termurah Rp 350 ribu.
Sutradara berhasil membawa kesedihan dalam kegembiraan. Sebagai hiburan operet ini berhasil. Penonton memang ada yang tersedan seperti saya --tetapi karena terharu. Bukan karena sedih. Muncul empati dalam keterharuan itu.