Arsul Sani Bilang Gaji DPR Rp 18 Juta, Tidak Pernah Sampai 260 Juta
jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arsul Sani menyatakan bahwa gaji anggota DPR tidak sampai Rp 260 juta seperti yang disebut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN dan RB) Tjahjo Kumolo.
“Gaji DPR itu yang ada di slip (gaji) saya, gaji Rp 18 juta sekian ratus ribu, tetapi kalau ditambah dengan tunjangan-tunjangan itu bisa antara Rp 50 juta sampai Rp 60 jutaan,” kata Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (6/3).
Namun, lanjut Arsul, bisa saja sampai angka tersebut kalau ditambah dari SPJ (surat pertanggungjawaban) dari kunjungan-kunjungan selaku anggota DPR. “Saya kira tidak kemudian sampai ratusan juta, kecuali itu barangkali ditotalkan take home pay-nya dari misalnya SPJ waktu kunjungan dan lain sebagainya,” ujar Arsul.
Namun demikian, sekretaris jenderal (Sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengaku secara pribadi gajinya tidak pernah sampai Rp 260 juta. “Saya kok tidak pernah sampai angka di atas (Rp 200 juta). Kalau ditotal rata-rata itu seratus jutaan, tidak mendekati itu (Rp 260 juta), mungkin,” ungkapnya.
Nah, Arsul mengaku bingung dengan pernyataan Tjahjo yang menyebut gajinya semasa menjadi anggota DPR bisa mencapai Rp 260 juta. Arsul berpendapat mungkin saja saat Tjahjo menjadi anggota DPR, anggaran negara lagi banyak.
“Kalau Rp 200 jutaan saya juga bingung. Barangkali semasa Pak Tjahjo jadi anggota DPR memang anggaran negara banyak sehingga yang dinikmati juga banyak. Coba tanya Pak Tjahjo,” papar Arsul.
“Selama periode 2014-2019 di mana saya mulai jadi anggota DPR sampai sekarang, tidak sampai sejumlah itu. Bahkan separuhnya pun tidak, kalau bicara take home pay secara keseluruhan, ya,” tambahnya.
Dia mengatakan, anggaran reses tidak sampai dimasukkan ke penghasilan. Sebab, dana tersebut harus dihabiskan pada saat reses. Menurut Arsul, dana reses biasanya digunakan untuk pertemuan-pertemuan maupun membantu kegiatan konstituen, termasuk menyumbang lewat proposal yang diajukan masyarakat. “Jadi, kalau itu menjadi bagian sebagai penghasilan itu malah tidak benar secara hukum,” tegasnya.