Asia Sentinel yang Bikin Sentimen
Oleh Auri JayaBegitulah kira-kira alur kerja redaktur kami. Dan seperti itu pula yang kami jelaskan kepada Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan dalam sebuah pertemuan. Setelah berita itu menjadi viral. Setelah berita itu menimbulkan kegaduhan politik.
Memang kami sempat panik ketika artikel Berthelsen itu tiba-tiba menghilang dari laman Asia Sentinel. Gara-gara ini kami sempat dituding sentiment dengan Pak SBY. Gara-gara ini pula, kami dicap penyebar kebohongan, penyebar hoax. Malam itu pula, kami mendengar akan dilaporkan ke Dewan Pers.
Kekhawatiran kami akhirnya sirna. Tengah malam, artikel itu muncul lagi. Sebelum kami dilaporkan. Kami sudah bisa mengakses kembali naskah aslinya. Asia Sentinel menerbitkan kembali artikelnya. Gentlemen!
Kami mendapatkan pelajaran penting dari pengalaman ini. Terutama dalam menjalankan profesi jurnalistik. Pekerjaan yang pernah menjadi eksklusif. Tetapi kini ikut tergerus zaman. Kini semua orang bisa menulis. Meski bisa menulis bukan berarti menjadi jurnalis. Tetapi perkembangan teknologi seakan telah mengaburkan antara penulis dan pekerjaan jurnalis.
Meski sebenarnya tidak sulit membedakan antara keduanya. Penulis media sosial tentu tidak bisa disebut sebagai jurnalis. Seorang jurnalis, dibatasi oleh norma dan etika jurnalistik. Bekerja di media konvensional yang jelas kedudukannya, perusahaannya, maupun penanggung jawabnya. Setiap sengketa pemberitaan diselesaikan di dewan pers. Sementara media sosial, blog dan sebagainya diselesaikan di kepolisian.
Mengambil atau menerjemahkan artikel dari sesama media online pun rupanya juga harus berhati-hati. Apalagi untuk isu-isu yang sensitif. Bagaimana jadinya kalau media yang dijadikan narasumber itu ternyata tiba-tiba mencabut beritanya? Seperti yang dilakukan oleh Asia Sentinel. Meski hanya beberapa saat, dan kemudian dimunculkan kembali? Dan kemudian dicabut lagi. Dan kemudian meminta maaf. Karena ternyata sang penulis tidak melakukan konfirmasi.
Dalam pedoman media siber yang diterbitkan oleh dewan pers sebenarnya sudah jelas disebutkan, bahwa media siber wajib mengikuti pencabutan kutipan berita dari media asal yang telah dicabut. Kami pun telah mencabut berita tersebut, seperti yang diperintahkan dalam pedoman media siber. Tentu kami juga meminta maaf kepada Pak SBY berikut Partai Demokrat atas kelalaian kami. Betul, ketika media sudah mencabut beritanya mengikuti media asal yang dikutipnya persoalan akan selesai. Tetapi bagaimana dengan narasumber atau orang yang diberitakan? Yang sudah terlanjur viral di media sosial, yang tentu tidak mudah untuk mencabutnya karena keterbatasan akses dengan penanggung jawabnya?
Ini pula yang membuat Pak SBY gundah, kecewa dan marah. Tentu kami bisa mengerti akan kegundahan Pak SBY. Kami bisa memaklumi kemarahan Pak SBY. Apalagi di era milenial ini. Dimana era media sosial lebih dipercaya dan lebih dimengerti.