ASN Dalam Perebutan Kekuasaan Pilkada
Oleh: Benny Sabdo (Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara)jpnn.com - Diskursus mengenai dikotomi antara politik dan birokrasi telah menjadi kajian klasik di bidang ilmu politik dan pemerintahan. Sebagian pakar administrasi negara berkeyakinan bahwa birokrasi harus netral dari anasir politik.
Menurut Max Weber, birokrasi harus melayani semua pihak dan tidak dikendalikan oleh motif politik sehingga pada akhirnya tidak dapat berlaku profesional.
Mendalami problematika tentang netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam perebutan kekuasaan pilkada, anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menorehkan buku yang bertajuk “Aparatur Sipil Negara dalam Perebutan Kekuasaan di Pilkada”.
Buku ini menarik karena membedah perkara netralitas ASN, yang sudah menjadi masalah klasik selama ini setiap gelaran pilkada.
Ide awal buku ini berangkat dari kegiatan pribadi untuk mengumpulkan tiga perihal, yakni tren pelanggaran netralitas, peraturan apa saja yang dijadikan dasar dalam penegakan netralitas serta bagaimana penerapan pasal 71 ayat (1) UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (Siregar, 2020:xxi).
Secara ringkas unsur Pasal 71 ayat (1) UU 10 Tahun 2016 adalah sebagai berikut: Pertama, pejabat negara/pejabat daerah/pejabat ASN/anggota TNI-Polri/kepala desa/lurah.
Kedua, dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan. Ketiga, yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Dalam konteks pilkada yang memiliki potensi besar terhadap pelanggaran ini, yakni pasangan calon dari pertahana. Problematika netralitas ASN kerap kali juga menjadi salah satu dalil dalam mengajukan gugatan perkara pilkada di Mahkamah Konstitusi.