Audit BPK Janggal, Hasil Rapat Kabinet dan KKSK Diabaikan
jpnn.com, JAKARTA - Dokumen mengenai hasil keputusan Rapat Kabinet Terbatas pada 7 Maret 2002 dan Keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) 18 Maret 2002 yang merupakan tindak lanjut dari keputusan Rapat Kabinet Terbatas, ternyata tidak dicantumkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)/Audit Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017.
Akibatnya adalah audit BPK tersebut berkesimpulan telah terjadi dugaan kerugian negara sebesar Rp 4,5 triliun yang berkaitan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), yang berujung pada penetapan tersangka terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (kini terdakwa).
Padahal terdapat pula Keputusan KKSK 7 Oktober 2002 yang berisi tiga hal pokok yang harus dilakukan BPPN terhadap obligor Sjamsul Nursalim, yakni, pertama, berkaitan dengan kewajiban membayar di muka Rp 1 triliun, agar segera diselesaikan kekurangan pembayaran Rp 428 miliar secara tunai. Kedua, segera menyempurnakan proses pengalihan aset sesuai MSAA, dan ketiga, melaporkan secara rinci penyelesaian audit finansial untuk mendapatkan persetujuan KKSK.
“Atas perintah itu, kami melaksanakan. Itu (Keputusan Rapat Kabinet dan Keputusan KKSK) sebetulnya dasar penyelesaian MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement) pada zaman kami sehingga terbitlah SKL (Surat Keterangan Lunas). Kalau tanpa dua itu dibahas, tidak mungkin ada SKL,” kata Syafruddin dalam persidangan Senin (13/8/2018) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Syafruddin pun meminta penjelasan dari saksi ahli hukum administrasi negara, Prof. I Gde Pantja Astawa, yang dihadirkan dalam persidangan. “Jadi kami menjadi bingung, kami juga membaca ini, kok menjadi tidak relevan. Dan tegas sekali dari BPK mengatakan itu (Keputusan Rapat Kabinet dan KKSK) tidak relevan. Logika saya bagaimana tidak relevannya ada dua keputusan penting dari presiden dan dilanjutkan KKSK itu menjadi dasar kami mengeluarkan SKL,” kata Syafruddin.
Kemudian SKL ini yang dipermasalahkan, tetapi kedua ini tidak penting. Tidak relevan. Bagaimana mendudukkan ini?
Gde menjawab, secara hukum administrasi negara, posisi ketua BPPN adalah sebagai pelaksana. Ketua BPPN adalah mandataris KKSK. Apalagi, terdapat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri berkaitan dengan hal tersebut.