AWAS!!! Perdagangan Anak Berkedok Adopsi
jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPD RI Prof. Dr. Darmayanti Lubis akan berkoordinasi dengan jajaran Pemprov Sumatera Utara, Pemerintah Pusat dan elemen yang terkait dengan Perlindungan Anak seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Hal ini terungkap ketika dikonfirmasi berkaitan dengan maraknya perdagangan manusia khususnya pada anak-anak yang terjadi di Kabupaten Simalungun dan Asahan, Provinsi Sumatera Utara.
Darmayanti meminta gugus tugas TPPO segera melakukan tindakan baik terhadap penanganan kasus maupun pada aspek pencegahan sebagai bentuk komitmen Pemerintah dalam memerangi Perdagangan Manusia khususnya Anak. Pengawasan terhadap dinas-dinas yang ada di Pemerintah Daerah sangat penting dilakukan serta secara terus menerus dilakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat terutama tentang Adopsi Anak dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Perdagangan Manusia menurut Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan. Kemudian, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi,” tegas Darmayanti Lubis yang juga berasal dari Daerah Pemilihan Sumatera Utara.
Ia menjelaskan, secara umum anak-anak dan perempuan merupakan pihak yang rentan menjadi korban trafficking dan eksploitasi. Mereka yang menjadi korban sebagian besar berasal dari kelompok masyarakat yang rentan.
Faktor-faktor penyebab terjadinya Perdagangan Anak (Child Trafficking) antara lain kurangnya kesadaran dan konsep berpikir yang salah pada masyarakat, faktor kemiskinan yang telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan strategi penopang kehidupan mereka termasuk mempekerjakan anak-anaknya karena jeratan utang, keinginan cepat kaya dan faktor kebiasaan penduduk yang menjadi budaya.
Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya child trafficking, antara lain berkaitan dengan peran anak dalam keluarga, perkawinan dini, jeratan utang, kurangnya pencatatan kelahiran, kurangnya pendidikan dan korupsi serta lemahnya penegakan hukum.
Dipaparkannya, maraknya kasus kekerasan terhadap anak dan perdagangan anak (child trafficking) akibat belum optimalnya upaya perlindungan anak. Kasus perdagangan anak juga cenderung mengalami peningkatan pada kurun waktu 3(tiga) tahun terakhir dari 410 kasus pada tahun 2010 meningkat menjadi 480 kasus di tahun 2011 dan menjadi 673 kasus pada tahun 2012.
Indonesia merupakan negara sumber, transit dan tujuan dari perdagangan orang terhadap perempuan dan anak, terutama untuk tujuan prostitusi dan ekpolitasi terhadap anak. Fenomena perdagangan orang dewasa ini semakin beragam bentuk dan modusnya. Banyak pelacuran baik di area lokalisasi maupun di tempat-tempat pelacuran terselubung seperti di kafe, panti pijat, salon kecantikan plus-plus, hotel dan lain-lain mulai menjamur, baik di kota besar maupun di pedesaan.