Bamsoet: MPR Lembaga yang Tepat untuk Merumuskan PPHN
Kiki Syahnakri menjelaskan untuk melihat apakah MPR saat ini merupakan perwakilan yang inklusif atau tidak, ada tiga syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, keterwakilannya lengkap, yaitu ada DPR, utusan daerah yang mewakili daerah di seluruh Indonesia, dan utusan golongan yang mewakili golongan-golongan atau kelompok-kelompok.
Kedua, anggota yang berasal dari DPR dipilih lewat pemilu,dan semua anggota dari utusan daerah dan golongan ditunjuk berdasarkan meritokrasi oleh golongan atau kelompok masing-masing.
Ketiga, semua anggota MPR berorientasi pada kepentingan nasional, bukan pada kepentingan pribadi atau golongan, dan amanah dalam menjalankan tugasnya.
“Saat ini semua anggota DPR adalah politisi. Hampir semua anggota DPR juga politisi. Maka, seorang politisi akan berorientasi pada kepentingan politik masing-masing atau kelompoknya, bukan kepentingan bangsa dan negara. Dengan kondisi seperti itu tidak mungkin MPR dapat menjadi lembaga permusyawaratan yang inklusif,” paparnya.
Menurut Kiki Syahnakri, sistem politik Indonesia perlu mempertimbangkan kembali keterwakilan tiga alur kekuatan rakyat, yaitu perwakilan individu, golongan, dan daerah.
“Konsekuensinya, kembali ke susunan MPR yang terdiri dari anggota DPR, utusan golongan, dan utusan daerah. Rekrutmen utusan daerah dan utusan golongan harus diatur dalam konstitusi (UUD) bukan diatur dalam UU,” katanya.
“Selain mengubah kembali susunan keanggotaaan MPR, kedudukan MPR harus menjadi lembaga tertinggi negara,” imbuhnya.