Bamsoet Tegaskan Konvensi Ketatanegaraan Bukan Hal Baru
Akibatnya, fungsi GBHN digantikan dengan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 - 2025.
Dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan penyelenggaraan pembangunan nasional ternyata menyisakan beragam persoalan.
"Misalnya, kecenderungan eksekutif sentris dan adanya potensi RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu menerangkan, PPHN sebagai sebuah Haluan Negara harus mempunyai legal standing yang kuat, tetapi sekaligus tidak kaku.
Bentuk hukum yang dinilai paling ideal adalah Ketetapan MPR, yang secara hirarki berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas Undang-Undang.
Untuk memberikan hak konstitusional dan mengatur kewenangan MPR (sebagai satu-satunya lembaga negara yang merepresentasikan aspirasi politik dan keterwakilan kepentingan daerah) untuk menetapkan PPHN, maka idealnya diperlukan amandemen terbatas.
Namun, mengingat dinamika politik, saat ini sulit untuk direalisasikan, sehingga bisa diupayakan untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) adalah melalui Konvensi Ketatanegaraan.
"Konvensi hadir sebagai rujukan hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan, serta mengisi kekosongan hukum formil yang baku," terang Bamsoet.