Banyak yang Kecewa Pilihan Jokowi, Golput Bakal Tinggi?
Ya. Di AS karakter golputnya agak beda dengan Indonesia. Di AS jika pendidikannya tinggi, persentase yang datang ke kotak suara justru besar. Kalau pendidikan rendah, malah sangat kecil. Tingkat pendapatan juga pengaruh. Makin kaya, makin memilih. Ini beda dengan Indonesia. Di sini justru tingkat pendidikan rendah, melek politiknya rendah, tapi pergi ke kotak suaranya semangat. Banyak faktor yang mendasari. Salah satunya karena mereka masih berpikir itu kewajiban. Utamanya mereka yang dulu pernah merasakan mobilisasi di era Soeharto.
Apakah politik uang berpengaruh?
Kalau pemilih tingkat pendidikannya tinggi dan makmur, politik uang tak pengaruh. Di sini menjadi berpengaruh karena mereka yang memilih justru yang berpendapatan rendah. Kesadaran berpolitik di AS cukup tinggi. Karena pergi ke TPS itu menentukan hidup mereka. Sebab, siapa yang jadi presiden akan berpengaruh ke kebijakan pajak. Kebijakan itu akan berpengaruh ke pendapatan mereka. Sedangkan yang berpenghasilan rendah merasa tak ada pengaruhnya bagi mereka. Republik selalu mengusung kebijakan pemotongan pajak.
Apakah Pilpres 2019 bakal serupa seperti di AS dengan angka golput tinggi?
Jadi gini, peluang calon untuk memberikan insentif agar orang datang ke tempat pemilihan sangat mungkin lebih rendah daripada Pemilu 2014. Pertama, karena belum-belum sudah ada under expectation dari publik terhadap pilihan (partai), terutama Wapres. Kalau capres kan sudah sesuai dugaan. Ada ekspektasi publik yang terkecewakan. Kalau mau jujur, sebenarnya banyak yang menghendaki Mahfud MD. Tapi, itu sudah ada hitung-hitungan politiknya sendiri. Kemungkinan, pilpres kedua ini tidak sesengit yang pertama. Kalau sengit kan insentif orang untuk datang ke TPS tinggi. Di Indonesia, periode kedua biasanya turnout memang rendah. Termasuk juga saat zaman SBY. Saat pertama, antusiasme tinggi. Jika tidak ada hal yang di luar dugaan, kemungkinan, kita khawatir, turnout bakal lebih rendah dibanding 2014.
Apakah pemilih pemula akan mengubah keadaan?
Pemilih pemula di Indonesia maupun AS termasuk pemilih yang galau. Di Indonesia mereka adalah kaum milenial. Mereka lahir saat Soeharto sudah lengser. Mereka sangat labil dan bergantung dinamika di media sosial. Tapi, transformasi dari media sosial ke kotak suara tak berbanding lurus. Contohnya mahasiswa, mereka jumlah golputnya lebih tinggi daripada ibu-ibu rumah tangga. Padahal, seharusnya kesadaran politik mereka tinggi.
Adakah faktor lain yang berpengaruh?