BAP DPD Menjembatani Penyelesaian Sengketa Lahan di Daerah
jpnn.com, JAKARTA - DPD RI sebagai lembaga negara yang menjadi representasi rakyat dan daerah harus menampung dan menindaklanjuti atas pengaduan masyarakat terkait dengan korupsi dan maladministrasi berkaitan dengan kepentingan daerah. Hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 22D UUD 1945; serta Pasal 257 dan Pasal 258 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Ketua Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI Abdul Gafar Usman mengatakan menindaklanjuti banyaknya laporan masyarakat terkait masalah sengketa lahan antara masyarakat dengan PT KAI, terutama terjadi di Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan di mana perbedaan persepsi terhadap grondkaart menjadi akar permasalahan tersebut, maka pada tanggal 15 Maret 2018, BAP telah melaksanakan focus group discussion bersama Pakar Hukum Agraria maupun Pakar Hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik.
Pada zaman kolonial, Hak atas tanah bagi Pemerintah tidak sulit karena adanya domeinverklaring (Ps 1 AB/Stb. 1870 No. 118) dimana Negara (Pemerintah) berhak memiliki tanah. Negara juga mempunyai legal standing sebagai eigenar atas Hak Eigendom sehingga berhak menggunakan tanah tersebut untuk membangun, berhak menyewakan, bahkan berhak menjual tanah/komersialisasi tanah.
Setelah beralih ke Pemerintahan Republik Indonesia, maka Pasal 33 (3) UUD 1945 mencabut legal standing negara/pemerintah sebagai pemilik tanah menggantinya dengan hak menguasai negara yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dari perspektif hukum agraria, sebagaimana disampaikan oleh Dr.Kurnia Warman, ahli hukum agraria dari Universitas Andalas, bahwagroondkart yang dibuat pada zaman Hindia Belanda tidak bisa serta-merta menjadi dasar penguasaan oleh PT. KAI.
Aspek kepastian dan perlindungan hukum berkenaan dengan legalitas tanah-tanah aset kereta api adalah ditentukan dengan mengikuti ketentuan pendaftaran konversi hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA dan Per-UU-an di luar UUPA terutama PP No. 8 Tahun 1953 dan Peraturan Pelaksanaannya.
Tujuan konversi hak adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum sebagai pemegang hak atas tanah, serta memastikan kecocokan hak-hak tersebut dengan hak-hak atas tanah menurut UUPA. Dengan konversi, penggunaan tanah menjadi tertib dan hak-hak atas tanah yang diperoleh dilindungi oleh hukum. Dalam pelaksanaan konversi selalu diikuti oleh pendaftaran hak atas tanah.