BAP DPD Menjembatani Penyelesaian Sengketa Lahan di Daerah
Secara empiris saat ini penguasaan tanah-tanah negara banyak menghadapi masalah termasuk dengan masyarakat yang memang sangat membutuhkan. Pemicu biasanya terjadi ketidaktaatan dalam pengelolaan tanah negara oleh penguasanya. Pendaftaran tanah merupakan salah satu upaya untuk memberikan kepastian hukum terhadap tanah negara, dan sekaligus untuk penertiban penguasaan tanah negara.
Pada saat konversi dan pendaftaran tanah inilah diperlukan data yuridis (dasar hukum penguasaan) dan data fisik (gambar situasi seperti Groondkaart, dan sebagainya) penguasaan tanah tersebut untuk dipindahkan ke Buku Tanah dan Sertipikat Tanah sesuai kewenangan instansi pemerintah yang bersangkutan.
Selanjutnya, perlu juga dilihat dari perubahan status badan hukum yang menyelenggarakan perkeretaapian sejak DKA hingga saat ini PT.KAI (persero), yakni Perubahan status badan hukum yang awalnya merupakan bagian dari instansi pemerintah (DKA, PNKA, PJKA), hingga semi-instansi pemerintah berupa PERUMKA dan bermetamorfosis menjadi PT. KA dan PT. KAI hingga saat ini. Perubahan status badan hukum dan implikasinya terhadap sumber daya manusia dan asetnya memiliki tata cara atau prosedur dalam ranah Perbendaharaan Negara.
Dari perspektif hukum anggaran negara dan keuangan publik sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Yuli Indrawati, pakar hukum anggaran negara dan keuangan publik Universitas Indonesia, bahwa fakta hukumnya memang tidak ada PP yang menetapkan pengalihan tanah yang digunakan PJKA menjadi penambahan penyertaan modal negara kepada PERUMKA ataupun PT KAI.
Tanah yang digunakan PERUMKA atau PT KAI bersertipikat Hak Pakai atas nama Departemen Perhubungan c.q. PJKA, serta tidak pernah dibukukan sebagai aktiva tetap (modal) perusahaan Perumka atau PT KAI dalam neraca Perusahaan.
Dalam perspektif hukum Anggaran Negara dan Keuangan Publik, aset yang dialihkan kepada PT KAI hanya aset Perumka. Tanah yang digunakan Perumka tidak dapat dialihkan karena bukan aset Perumka melainkan Aset Negara.
Dengan demikian, Sertipikat Hak Pakai atas nama Departemen (sekarang Kementerian) Perhubungan c.q. PJKA tidak dapat dijadikan dasar bagi kepemilikan tanah oleh PT KAI karena secara hukum masih dimiliki oleh Departemen (sekarang Kementerian) Perhubungan. Sehingga PT KAI tidak berwenang melakukan tindakan hukum apapun terhadap asset yang sedang dipakainya.
Menurutnya, tindakan hukum atas tanah tersebut hanya dapat dilakukan (atas perintah, delegasi atau mandat) oleh Kementerian Perhubungan atau Kementerian Keuangan selaku bendaharawan umum negara yang memegang pengelolaan atas barang milik Negara; regulasi pemindahtanganan dan penghapusbukuan atas tanah tersebut tetap berada pada regulasi publik sesuai dengan asas Contrarius Actus; Ketentuan-ketentuan dalam proses pengambilalihan dan lainnya terhadap barang tidak bergerak milik negara pada PT KAI tunduk pada prinsip-prinsip perbendaharaan negara; Risiko atas tuntutan aset tersebut tidak menjadi risiko dan kerugian BUMN, melainkan menjadi risiko dan kerugian negara; dan Sengketa hukum atas tanah tersebut harus mengikuti prosedur dalam Peraturan Menteri BUMN No. 13/MBU/2014 tentang Pendayagunaan Aset Tetap BUMN.