Bareskrim Polri Tolak Laporan TPDI, Petrus Selestinus: Aneh
Petrus mengatakan Sirekap sesungguhnya sebuah rekayasa teknologi Informasi Elektronik yang diduga dirancang dengan kemampuan memanipulasi penghitungan suara, sebagaimana dikonstatir oleh UU ITE dan diyakini publik sebagai biang kerok pembajakan suara rakyat secara masif.
Dengan demikian Sirekap itu, menurut Petrus, tidak tunduk pada UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan karena itu tidak tunduk pada yurisdiksi Bawaslu/Gakumdu. Sebab, ia dikualifikasi sebagai delik biasa.
Begitu pula dengan publisitas yang masif dan terus-menerus melalui Sirekap, jelas sebagai aksi "post truth" yang berdampak membangun persepsi publik agar percaya terhadap berita yang diduga sebagai berita bohong dan berpotensi menimbulkan keonaran di tengah rakyat.
“Faktanya, saat ini rakyat sudah turun ke jalan, berhadap-hadapan antara yang pro dan yang kontra, terjadi polarisasi antara yang pro dan kontra di lapangan berhadapan dengan Polri,” ujar Petrus.
Muruah Kedaulatan Rakyat
Di dalam Pasal 1 angka 1 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikatakan bahwa Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan anggota DPRD, secara luber dan jurdil dalam Negara Kesatuan RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu, ketika Daulat Rakyat yang disublimasikan di TPS-TPS pada 14/2/2024 dan di Sirekap pada tahap penghitungan suara, terdapat dugaan manipulasi melalui Sirekap oleh oknum KPU, dan Pihak lain di luar, maka tidak beralasan hukum bagi Bareskrim Polri menokak Laporan Polisi dari Para Advokat TPDI dan Perekat Nusantara.
“Mengapa? Karena substansi yang akan dilaporkan adalah tentang dugaan Penyebaran Berita Bohong melalui Sirekap KPU dan dugaan korupsi dalam proyek pembuatan Aplikasi Sirekap yang melibatkan aktor lain di luar KPU,” ujar Petrus yang juga Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara ini.