Baru Sebulan Berdiri, Hancur Dihantam Roket
’’Pada serangan kedua itu lebih dari 15 roket dijatuhkan persis di Graha Daqu,’’ katanya. Bangunan tiga lantai tersebut pun luluh lantak. Onim mengirimkan link foto dengan objek dia di depan bekas Graha Daqu.
Gedung seluas 260 meter persegi yang dibangun atas sumbangan warga Indonesia itu menyisakan puing. Hanya tersisa beberapa tembok, termasuk yang bertulisan Rumah Tahfidz Daarul Qur’an Gaza. Padahal, Onim sudah memasang bendera Indonesia di atap bangunan dengan maksud agar tak menjadi sasaran penyerangan.
Untung, pada serangan kedua, sudah banyak yang mengungsi. Dengan demikian, para tetangga Onim yang mayoritas orang tua murid Graha Daqu selamat. Namun, kabar duka dia kirimkan Selasa siang (30/7) kepada koran ini. ’’Roket Israel kembali menyerang tetangga saya di sekitar Graha Daqu. Innalillahi, tiga santri Graha Daqu meninggal bersama orang tuanya,’’ tulis Onim melalui BlackBerry Messenger (BBM).
Berdirinya Graha Daqu tidak lepas dari aksi sosial Onim sebagai relawan MER-C pada 1999. Dia pernah pulang ke Indonesia dan kembali ke Gaza pada 2009. Saat itu terjadi agresi Israel yang menewaskan lebih dari 1.600 warga Palestina. Dalam aksi kemanusiaan yang kedua itu, Onim dipertemukan dengan jodohnya. Dia menikah dengan muslimah Gaza bernama Rajaa Hirthani, 28.
Pria 31 tahun itu menjadi lelaki asing pertama yang menikahi gadis Gaza. Sang istri merupakan lulusan Universitas Gaza jurusan pendidikan usia dini. Latar belakang itulah yang kemudian menimbulkan chemistry yang sama. Mereka ingin membangun sarana pendidikan bagi anak-anak di Gaza.
’’Setelah menjalankan misi kemanusiaan yang kedua, saya sempat pulang bersama istri ke tanah air. Kemudian, kami memutuskan kembali pada 2012 untuk mendirikan tempat belajar Alquran di Gaza,’’ terang Onim. Saat kembali pada 2012 itu, Onim sudah tak lagi aktif di MER-C. Dia ingin fokus pada pendirian rumah tahfidz. Meski begitu, Onim masih terlibat dalam pembangunan rumah sakit MER-C.
Keluarga Onim di Galela, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, sempat berkeberatan melepasnya kembali ke Gaza. Pandangan mereka seperti kebanyakan orang, berangkat ke Gaza sama halnya dengan setor nyawa. ’’Tapi, saya berikan pemahaman ke orang tua saya dan mereka akhirnya mengikhlaskan,’’ kenangnya.
Dua bulan berada di Gaza, Onim mendapatkan kabar duka. Ayahnya di Galela meninggal. ’’Saya memutuskan untuk tidak pulang kampung demi terealisasinya RS Indonesia di Gaza dan rumah bagi para tahfidz,’’ ujarnya.