Bawaslu Harus Serius Menangani Pelanggaran Calon Petahana
Ganjaran atas perbuatan mutasi yang dilakukan oleh petahana adalah sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai calon kepala daerah sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 71 ayat 5 UU 10 Tahun 2016 yang bertitah:
“Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.”
Selanjutnya, kata Hery, ketentuan lain yang mengatur larangan mutasi bagi calon petahana adalah Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017.
Pasal 89 (1) Bakal Calon selaku petahana dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan akhir masa jabatan.
(2) Bakal Calon selaku petahana dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan Pemerintah Daerah untuk kegiatan pemilihan 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan penetapan Pasangan Calon Terpilih.
(3) Dalam hal Bakal Calon selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), petahana yang bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Kajian Empirik dan Yurisprudensi
Pada kesempatan itu, Hery menyampaikan kajian empirik dan yurisprudensi sekaligus contoh dari implementasi kasus Mutasi PNS 6 Bulan Sebelum/Sesudah Penetapan Calon Pilkada.
Menurutnya, Pemilihan kepala Daerah pertama yang menjadi “korban” penerapan aturan ini adalah pemilihan Bupati Kabupaten Boalemo. Petahana dicoret oleh KPU Boalemo karena perintah Putusan Mahkamah Agung No 570 K/TUN/Pilkada/ 2016.
Dalam putusan tersebut petahana terbukti melakukan mutasi ASN sehingga harus dibatalkan sebagai calon bupati dan wakil Bupati kabupaten Boalemo Tahun 2017. Putusan ini adalah putusan Mahkamah Agung pertama mengenai Pembatalan calon kepala daerah karena melakukan mutasi.