Bayi Tersangkut di Pohon 18 Jam, Kisah Ini Bikin Merinding
Tsunami memisahkan ketiganya. Burhanuddin terempas 600 meter di Jalan Yos Sudarso. Dada, perut, punggung, lengan, kakinya luka seperti tersayat. Dia menyelamatkan diri dengan menaiki lantai dua ruko melalui kanopi. Rasa waswas masih menggelayut, karena gempa masih mengguncang.
Lafaz syahadat tak berhenti keluar. Sujud syukur dilakukan. Sembari memanjatkan doa untuk keselamatan keluarganya.
Di ruko, pria berambut cepak itu bersama dengan dua perempuan. Salah satunya tanpa busana. Sementara yang lain menggunakan jins dan bra.
“Baju yang saya pakai, saya kasihkan. Ada juga orang lewat pakai mobil boks saya minta jaketnya untuk dua perempuan itu,” jelasnya. Setelah benar-benar aman, Burhanuddin baru turun lalu dievakuasi ke RS Undata.
Sementara, Amalia yang hanya bisa pasrah diombang-ambing tsunami terbawa arus hingga samping kantor harian Radar Sulteng, grup Kaltim Post (Jawa Pos Group).
Pemilik kulit sawo matang itu mencoba menjauh dari gedung, akibat gempa selepas tsunami. Dia berlari ke Jalan Soekarno-Hatta, tak jauh dari kampus Universitas Muhammadiyah Palu. Amalia bertemu dengan anak pertamanya, Muhammad Fajar (18), yang saat gempa berada di rumah kakeknya. “Kami lalu dievakuasi polisi ke Mapolda (Sulteng),” ujarnya.
Perasaaan Amalia campur aduk. Dia memikirkan keselamatan suami dan bayinya yang lahir baru 3 Agustus lalu, juga anggota keluarganya yang lain. Dengan kondisi yang tak berdaya, Amalia bertemu dengan kakaknya.
“Kakak saya itu yang mengumpulkan kami semua. Saat gempa dia di Desa Kalukubula, Kabupaten Sigi, jelasnya.