Berharap MPLS Tanpa Bentakan, tak Ada Kecemasan
jpnn.com - Mulai hari ini (15/7), Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah alias MPLS kembali menyapa para calon peserta didik baru yang telah dinyatakan diterima pada sekolah masing-masing pada tahun pelajaran 2019–2020 ini.
Oleh: Masbahur Roziqi
Setiap MPLS yang selalu dicari adalah MPLS anti-perundungan. MPLS yang berlangsung secara humanis. Kegiatan berisi banyak hal positif dan membangkitkan minat peserta didik baru untuk aktif. Baik aktif menyampaikan pendapat, menyalurkan aksi bakatnya, maupun berkolaborasi bersama teman-teman baru serta kakak kelasnya. Keseruan berkolaborasi dan aktif ini yang sejatinya harus hadir pada tiap MPLS.
Sekolah memang sudah selayaknya menjadi tempat humanis dan menyenangkan bagi para peserta didik. Termasuk pada peserta didik baru. Sejak awal mereka masuk, sekolah harus membangun iklim bahwa peserta didik aman dan nyaman berada di sekolah. Bentakan, ancaman, intimidasi, kekerasan fisik, psikis sudah tidak seharusnya mendapat tempat di sekolah. Jangan berikan toleransi pada adanya segala bentuk kekerasan di dalam sekolah.
Jamak diketahui bahwa selama ini MPLS yang sebelumnya bernama MOS, menjadi ajang balas dendam kakak kelas (senior) kepada peserta didik baru (junior). Senior yang sebelumnya menjadi junior mengalami perundungan/perpeloncoan sehingga ”wajib” menurunkannya pada adik kelas berikutnya. Ketika itu terus dilakukan, maka rantai kebencian dan perundungan pasti tidak akan terputus. Di sinilah perlunya sekolah hadir memastikan rantai perundungan antargenerasi tidak lagi bersambung.
Tendangan, pukulan, bentakan, (mudah-mudahan tidak ada) tidak akan memberikan efek positif bagi perkembangan peserta didik baru. Justru mereka akan berada dalam iklim penuh kecemasan. Kecemasan yang berpotensi membuat peserta didik baru tidak terbuka. Baik tidak terbuka terkait masalah pribadi, sosial, belajar maupun karir.
BACA JUGA: Kritik Pedas Pak Gubernur terhadap PPDB Sistem Zonasi
Padahal keterbukaan merupakan bagian penting memahami karakteristik tiap peserta didik. Sehingga sekolah mengetahui gaya belajar, cara bersosialisasi, hingga berkomunikasi peserta didik. Dengan mengalami kekerasan, mereka akan menekan agar keterbukaan itu tidak muncul. Ujungnya, sekolah kesulitan memahami peserta didik.