Bersurat ke Presiden Jokowi, Lutfi Adukan Perbuatan AKBP Gafur
“Maka polisi sebelum menerbitkan SP3 tentu harus dipertimbangkan secara komprehensif dan akurat, agar sekali terbit SP3, maka sejak saat itu menjadi final, mengikat, dan mempunyai legal binding,” tegasnya.
Fenomena munculnya sprindik dengan alat bukti dan pelapor dua kali berturut-turut ini, kata Astawa, akan melahirkan persoalan hukum baru.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Profesor Mudzakir bahkan mendorong Divisi Profesi dan Pengamana (Divpropam) Mabes Polri menelisik motifasi maupun kepentingan di balik keputusan mantan Kasubdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Gafur Siregar yang membuka kembali penyidikan perkara yang sudah dihentikan penyidikannya (SP3).
Dalam ilmu hukum pidana kata Mudzakir jika sebuah objek yang disidik itu tidak termasuk perbuatan pidana, bukan perbuatan pidana, maka proses penyidikan mutlak tidak bisa dibuka kembali karena sudah disimpulkan sebagai bukan perbuatan pidana, atau dikenal dengan SP3 permanen. Yang kedua, jika SP3 disebabkan karena kurang cukup bukti, maka bisa di SP3 demi kepastian hukum.
Dalam kasus yang melibatkan penyidikan AKBP Gafur Siregar, Mudzakir melihat upaya menyidik kembali perkara yang telah di SP3 sebagai sebuah kekeliruan, cacat hukum, sehingga tidak bisa dibuka kembali.
Kepada wartawan, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus membenarkan AKBP Gafur telah menjalani sidang kode etik terkait penanganan kasus saat menjabat Kasubdit II Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Namun setelah dilakukan sidang dan pemeriksaan, Yusri menyampaikan yang bersangkutan tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
“Sudah dilakukan sidang dan Paminal Polri kemudian menyatakan M Gafur tidak bersalah dan tidak melanggar kode etik profesi dalam penanganan perkara tersebut,” ujarnya, Sabtu (28/8/21). (dil/jpnn)