Besek Wadas
Oleh: Dahlan IskanKiai Nur terhindar, tapi HP-nya belum kembali. Hanya saja anak lelakinya yang sempat dibawa petugas. Satu hari satu malam. Ia, kata sang bapak, sial saja. Ia sebenarnya lagi mondok di Pondok Lirboyo Kediri. Umurnya 25 tahun. "Hari itu anak saya pulang ke Wadas karena kakak saya, Kiai Syamsu meninggal dunia," kata kiai Nur. Kini sang anak sudah kembali ke Lirboyo.
Menurut Kiai Nur, penduduk dukuhnya itu memang mayoritas NU. Ada spanduk besar bergambar pendiri NU KH Hasyim Asy'ari, di simpang jalan dekat masjid. Tiga hari setelah ke ''masjid pro',' Gubernur Ganjar datang ke masjid Krajan ini.
Kiai Nur sendiri dulu belajar di Pondok Pesantren Raudlatut Tholabah, di utara Genteng, antara Banyuwangi dan Jember. Demikian juga saudara-saudaranya.
"Kalau tidak bisa ambil batu dari Wadas, proyek bendungan Bener bisa dapat dari mana?" tanya saya.
"Saya dengar yang sudah diteliti amdalnya ada empat lokasi. Jadi ada pilihan lain," ujar Kiai Nur.
Ia menceritakan, mempertahankan gunung itu sudah wasiat dari leluhur. "Sejak zaman Belanda sudah ada niat menambang sesuatu di sini. Entah ada apa di dalamnya," ujarnya. "Kami menolak. Ini sumber kehidupan kami," katanya.
Bahkan Kiai Nur juga menyebut soal harga diri. Ini yang saya belum bisa menggali –harga diri seperti apa. Terkait dengan Perang Diponegoro? Yang pengikutnya banyak lari ke sini? Atau terkait dengan kemandirian penduduk desa ini yang tidak bisa disebut miskin?
“Di samping pohon kepel, di sini ada pohon sawo kecik?" tanya saya soal penanda pengikut Diponegoro.
"Dulu ada. Sudah mati," jawabnya. "Nama Wadas sendiri berarti wadah satria," ujarnya. Di Jawa orang memang pintar memaknai apa saja. Atau memang begitu.