BG Terancam Dipanggil Paksa
jpnn.com - JAKARTA - Komjen Budi Gunawan tidak memenuhi panggilan penyidik KPK kemarin. Pihak Budi beralasan mengatakan belum menerima surat panggilan dan mempermasalahkan surat penetapan tersangka padahal proses praperadilan masih berjalan. KPK pun menilai alasan Budi tak patut. Dia terancam dipanggil paksa.
Aroma ketidakhadiran Budi Gunawan (BG) sebenarnya tercium sejak Kamis malam (30/1). Salah seorang kuasa hukum BG, Razman Arif Nasution, menjelaskan bahwa kliennya menolak panggilan penyidik KPK karena tiga alasan. Pertama, sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, BG tidak pernah mendapatkan surat penetapan
Kedua, BG mempermasalahkan mekanisme penyerahan surat panggilan KPK yang hanya ditaruh begitu saja di kediamannya. Ketiga, panggilan dianggap mengangkangi proses praperadilan yang tengah diajukan BG.
Terkait hal tersebut, Deputi Pencegahan KPK Johan Budi mengatakan, selama ini dalam penanganan perkara, pihaknya memang tidak pernah mengirimkan surat penetapan tersangka. "Penetapan tersangka akan tertera pada surat panggilan saat peme riksaan," ujarnya.
Mengenai proses praperadilan, Johan mengatakan, itu juga pernah dilakukan sejumlah tersangka di KPK. Namun, proses praperadilan tidak menghentikan penanganan perkara yang dilakukan penyidik. "Nanti kalau ada putusan dari pengadilan, baru bisa ada ketentuan, penyidikan bisa dilanjutkan atau tidak," kata Johan.
Tersangka yang pernah menempuh praperadilan adalah Tubagus Chaeri Wardana. Saat itu adik Ratu Atut Chosiyah tersebut mempermasalahkan penangkapan yang dilakukan KPK. Namun, ketika proses praperadilan berjalan, pemeriksaan terhadap Tubagus tetap dilakukan.
Terkait surat panggilan yang dipermasalahkan BG, KPK mengaku telah mengirimkannya ke empat tempat. Kabag Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha menjelaskan, lokasi itu adalah rumah pribadi BG di Jalan Duren Tiga dan diterima seseorang bernama Hariyanto.
"Surat juga telah kami kirim ke rumah dinas yang bersangkutan di STIK (Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian), diterima Safriyanto," jelas Priharsa. Surat berikutnya dikirim ke kantor Lemdikpol (Lembaga Pendidikan Polri), diterima Suhardianto. Surat yang keempat dikirim ke Mabes Polri dan diterima Dwi Utomo.