Bikin Killing Field Damai, Menang Pilwali Enam Kali
laporan Wartawan Jawa Pos, KARDONO SETYORAKHMADI, dari DavaoSelasa, 29 September 2009 – 11:28 WIB
Begitu angkernya kondisi Davao sehingga kawasan bisnis paling ramai saat itu (hingga sekarang), Magsasay Avenue, sudah senyap saat waktu magrib lengser. Kegiatan bisnis langsung berhenti. "Warga tak ada yang berani keluar (rumah) lebih dari pukul 19.00. Urusan bisa gawat. Kalau tidak kena peluru nyasar, bisa kena rampok. Serbasalah," katanya.
Tak ada turis yang berani datang. "Yang datang hanyalah orang-orang yang berkepentingan," imbuhnya. Namun, segalanya berubah ketika Rodrigo Roa Duterte terpilih menjadi wali kota Davao pada 1988. Saat itu usianya 43 tahun. Dia memenagi pilwali tiga kali erturut-turut pada 1988, 1992, dan 1995. Karena aturan pemerintah Filipina (setelah tiga kali tak boleh lagi menjabat), pada 1998 Duterte menjadi anggota kongres di Manila hingga 2001. Dia kemudian maju dan memenangi pilwali lagi pada 2001, 2004, dan 2007.
Lewat tangan besi Duterte-lah Davao berubah drastis. Pendekatan yang dilakukan pria yang dijuluki majalah Times pada 2002 sebagai The Punisher tersebut memang berbeda. Alih-alih memerangi, Duterte merangkul kedua kelompok revolusioner (NPA dan MNLF). Bahkan, dia berani mendatangi "sarang" Commander Parago, mempertanyakan aktivitas yang mengganggu ketenteraman warga kota.