Bola Panas e-KTP dan Tameng Oposisi Ala PDIP
Oleh Zaenal A Budiyono*Indonesia tidak mengenal pemisahan tegas partai pemerintah dan oposisi. UUD 1945 juga tidak mengatur oposisi. Yang ada sekarang adalah oposisi yang hanya sekadar label politik atau positioning yang diambil oleh parpol tertentu.
Sebagai contoh adalah Gerindra dan PKS yang saat ini menempatkan diri sebagai oposisi. Namun di saat yang sama, kedua partai itu bisa kapan saja masuk barisan pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Begitu juga dengan PDIP atau Golkar yang sekarang menjadi pendukung pemerintahan Jokowi. Secara konstitusi, partai pendukung pemerintah bisa berbalik sikap kapan pun berdasar pertimbangan dan kepentingan masing-masing.
Hal yang sama berlaku pada PDIP di era lalu. Poinnya, tindakan PDIP membuat garis demarkasi sebagai oposisi untuk membela kadernya jelas bukan langkah pas. Sebab, faktanya tidak ada oposisi formal di Indonesia.
Tidak logis juga membangun narasi bahwa oposisi tidak mungkin ikut-ikut menikmati ‘bancakan’ rasuah e-KTP sebagaimana tuduhan Novanto. Pasalnya, proses penyusunan undang-undang dan policy apa pun bukan hanya domain eksekutif.
Legislatif juga memiliki peran kuat sebagaimana diktum Trias Politica tentang pembagian kekuasaan. Bahkan bisa dikatakan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang dapat berjalan tanpa persetujuan DPR.
Posisi kuat DPR ini yang di kemudian hari berujung pada abuse of power. Buktinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap banyak legislator dari berbagai partai, baik yang berstatus pendukung pemerintah ataupun yang menempatkan diri sebagai oposan.
Ini menunjukkan bahwa dalam pembahasan anggaran tidak ada lagi batas tegas antara fraksi pemerintah dan oposisi. Semua memiliki kewenangan yang sama sehingga berpotensi juga melakukan penyelewengan.