Bu Guru Berpetualang pakai Vespa, Didekati Pria Bercelurit
Karena itulah, touring biasa dia lakukan hanya saat libur panjang. Agar tak sampai meninggalkan kewajiban mengajar. ”Kalau pas nggak libur panjang, paling hanya keliling kota atau tempat yang dekat-dekat saja,” katanya.
Di pelataran rumah yang asri di kawasan Buah Batu, Bandung, itu tampak pula 12 Vespa berjejer. Seluruhnya milik Mabu sekeluarga. Dari yang paling tua keluaran 1961 sampai yang terbaru rilisan tahun lalu.
Sejak sepuluh tahun lalu, untuk urusan motor, Mabu dan suami memang tak bisa berpaling ke lain hati. Hanya Vespa. Yang kemudian menular kepada kedua anak lelakinya. Tapi, kecintaan kepada Vespa itu tidak datang tiba-tiba. Bahkan, Mabu sempat melarang ketika suaminya berniat membeli Vespa.
”Pas pertama beli, suaranya kencang bener, terus asap knalpotnya tebel bener. Olinya netes ke mana-mana,” ungkapnya.
Mabu pun sempat meminta sang suami menjualnya kembali. Tapi, sang suami memutuskan membawanya ke bengkel. Dan, voila, sebulan kemudian, Mabu justru jatuh hati kepada si Vespa yang catnya telah berganti jadi ungu.
”Jadi bagus dan enak dikendarai. Karena warnanya ungu, akhirnya dipanggil unyu,” katanya, lantas tersenyum. Saat berkeliling Aceh pada Desember tahun lalu sendirian, Vespa pula yang dikendarai Mabu. Persisnya jenis VBB 1964.
”Pas sebelumnya ada gempa di daerah Pidie. Jadi, bawa sedikit bantuan ke sana,” terang dia.
Itulah salah satu alasan yang membuat Mabu doyan touring: kesempatan untuk berbagi atau menebar kebaikan. Ke mana pun dia tur, baik sendiri, dengan suami dan anak, maupun dengan komunitas Vespa, sebisanya dia membawa apa saja yang mungkin berguna di daerah tujuan. ”Minimal saya bawa mukena yang biasanya, lantas saya tinggal di masjid yang saya sambangi,” katanya.